Langsung ke konten utama

Di Negeri yang Dulu Saling Menyapa



MENJUAL HARAPAN - Di sebuah negeri yang dahulu dikenal dengan sapaan hangat dan tangan yang tak segan membantu, berdirilah sebuah kampung bernama Sindang Sadar. Kampung itu tak besar, tapi dulu cukup untuk menampung cerita, tawa, dan tangis bersama. Di sana, gotong royong bukan sekadar kata, melainkan napas yang menghidupi setiap sudut rumah dan jalan setapak.

“Dulu, kalau ada yang bangun rumah, semua datang. Tak perlu undangan,” kata Mak Inem, sambil menyapu halaman yang kini jarang diinjak tetangga. Ia berbicara pada angin, atau mungkin pada kenangan yang masih bersarang di sudut matanya. “Sekarang? Semua sibuk. Sibuk sendiri.”

Di seberang jalan, Pak Darsa sedang menambal genteng rumahnya. Ia tak lagi menunggu bantuan. Tangga ia pinjam dari warung, palu dari anaknya, dan semangat dari rasa tak ingin merepotkan. “Saya bisa sendiri,” katanya, meski lututnya gemetar. “Tak enak minta tolong. Mereka juga punya urusan.”

Anak-anak di kampung itu tak lagi bermain layang-layang bersama. Mereka sibuk dengan layar lain—yang menyala di genggaman, bukan di langit. “Main bareng itu ribet,” kata Raka, bocah kelas lima. “Kalau sendiri, nggak perlu nunggu siapa-siapa.”

Di balai warga, papan pengumuman berdebu. Dulu, setiap minggu ada jadwal ronda, kerja bakti, dan arisan. Sekarang, yang tertempel hanya iklan pinjaman online dan pengumuman lelang tanah. “Balai ini sunyi,” gumam Bu Lilis, penjaga kunci balai. “Padahal dulu, tempat ini penuh suara.”

Suatu hari, hujan deras mengguyur Sindang Sadar. Selokan meluap, jalan becek, dan air masuk ke rumah-rumah. Tapi tak ada yang keluar. Masing-masing sibuk menyelamatkan barangnya. Tak ada yang saling panggil. Tak ada yang saling bantu. “Mungkin mereka tak dengar,” kata Pak Darsa. “Atau mungkin… tak peduli.”

Di tengah genangan, Mak Inem duduk di kursi plastik, memandangi air yang mengalir seperti waktu yang tak bisa ditahan. “Gotong royong itu bukan soal kuat atau lemah,” katanya lirih. “Tapi soal rasa. Rasa bahwa kita tak sendiri.”

Malam itu, listrik padam. Gelap menyelimuti kampung. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, warga keluar rumah. Mereka duduk di teras, menyalakan lilin, dan berbicara. Tentang banjir, tentang listrik, tentang anak-anak. “Gelap ini membawa terang,” kata Bu Lilis, tersenyum.

Dari obrolan itu, lahirlah ide: kerja bakti membersihkan selokan. Bukan karena perintah, tapi karena kesadaran. “Kalau bukan kita, siapa lagi?” ujar Raka, yang kini memegang sapu lidi. Ia tak lagi sendiri. Teman-temannya ikut. Mereka tertawa, meski tangan kotor.

Hari itu, Sindang Sadar kembali bersuara. Cangkul bertemu tanah, ember berpindah tangan, dan sapaan kembali terdengar. “Maaf ya, kemarin saya nggak sempat bantu,” kata Pak Darsa pada tetangganya. “Nggak apa, yang penting sekarang kita bareng.”

Di tengah kerja bakti, seorang pemuda bernama Ardi mengusulkan: “Bagaimana kalau kita bikin forum warga? Tempat ngobrol, tempat curhat, tempat merancang kampung.” Semua mengangguk. Tak ada yang menolak. Karena semua merasa: mereka butuh satu sama lain.

Forum itu lahir sederhana. Di bawah pohon mangga, dengan tikar dan teh hangat. Tapi dari sana, lahir banyak hal: jadwal ronda, kelas belajar anak, dan rencana taman kampung. “Kita mulai lagi,” kata Bu Lilis. “Dari yang kecil, tapi bersama.”

Di forum itu, mereka juga bicara tentang pergeseran. Tentang bagaimana teknologi, ekonomi, dan gaya hidup membuat mereka sibuk sendiri. “Tapi bukan salah teknologi,” kata Ardi. “Salahnya kalau kita lupa bahwa kita manusia. Makhluk sosial.”

Pak Darsa mengangguk. “Dulu, kita bangga karena saling bantu. Sekarang, kita malu karena merasa tak butuh.” Ia menatap anak-anak yang bermain bola bersama. “Tapi lihat mereka. Mungkin harapan masih ada.”

Mak Inem menambahkan, “Gotong royong itu bukan warisan, tapi pilihan. Kita bisa memilih untuk peduli. Untuk hadir. Untuk menyapa.” Semua diam sejenak. Lalu satu per satu mengangguk. Diam yang bermakna.

Di kampung itu, perubahan tak datang dari luar. Tapi dari dalam. Dari kesadaran bahwa hidup tak bisa dijalani sendiri. Bahwa retaknya gotong royong bisa disambung kembali, asal ada niat dan cinta.

Mereka mulai mencatat cerita. Membuat buku kampung. Menulis tentang banjir, tentang gelap, tentang sapaan yang hilang dan kembali. “Biar anak cucu tahu,” kata Bu Lilis. “Bahwa kita pernah hampir lupa, tapi memilih untuk ingat.”

Di halaman buku itu, tertulis: “Sindang Sadar, kampung yang belajar kembali menjadi manusia.” Dan di bawahnya, foto warga sedang membersihkan selokan, tersenyum, berkeringat, bersama.

Di negeri yang dulu saling menyapa, kini suara gotong royong kembali terdengar. Tak sekeras dulu, tapi cukup untuk menghidupkan harapan. Karena dalam dunia yang sibuk sendiri, menyapa adalah revolusi kecil yang bermakna.

Dan di kampung itu, di bawah pohon mangga, mereka terus berkumpul. Bukan karena kewajiban, tapi karena rasa. Rasa bahwa hidup bersama adalah satu-satunya cara untuk tetap menjadi manusia. (Sjs_267)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hegemoni Ekologis

Oleh Silahudin MENJUAL HARAPAN -  RETORITKA pembangunan berkelanjutan, dan jargon hijau tampak kian populer di ruang-ruang kebijakan, akan tetapi, di balik itu juga tersembunyi satu paradoks besar, yaitu alam terus mengalami kerusakan struktural, walau keberlanjutannya digembar-gemborkan.  Pergulatan hidup kita, dalam realitasnya dikonstruksi oleh bahasa, dan narasi yang seolah peduli terhadap lingkungan, namun, secara praksis terus-menerus melegitimasi eksploitasi. Pada titik simpul inilah, letak hegemoni ekologis, bukan hanya dominasi atas alam, tetapi juga dominasi atas cara berpikir tentang alam. Memang, hegemonis ekologis bekerja secara halus melalui wacana yang kita anggap netral, seperti istilah "pemanfaatan sumber daya", "optimalisasi kawasan", atau "efisiensi energi", dan lain sejenisnya. Dalam tataran kerangka tersebut, alam dikonstruksi sebagai objek pasif yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Kepentingan ekonomi diselubungi bahasa sa...

Fiorentina Vs Verona, Udinese Vs Napoli, dan Milan Imbang Lawan Sassuolo

  MENJUAL HARAPAN - Tuan rumah Fieorentina alami kekalahan dari Verona dengan skor gol 1-2 pada pekan ke-15. Fiorentina berada di zona degradasi dengan koleksi 6 poin, sedangkan Verona berada di urutan ke-18 dengan koleksi 12 poin pada klasemenn sementara Serie A pekan kelima belas. Adapun pada pertandingan lainnya, Udinese mengalahkan Napoli dengan skor gol 1-0. Gol semata wayang Udinese dicetak Jurgen Ekkelenkamp, dan kini Udinese berada di urutan ke-10 dengan 21 poin, sementara Napoli sendiri masih bertengger di papan atas urutan ke-3 dengan koleksi 31 poin pada klasemen sementara Serie A pekan ke-15. Sedangakn, Milan menjamu Sassuolo berakhir dengan skor gol 2-2. Masing-masing dua gol itu, AC Milan terlebih dahulu kecolongan gawangnya pada menit ke-13 lewat tendangan Ismael Kone. Namun, tuan rumah AC Milan berhasil menyamakan kedudukan gol 1-1 pada menit ke-34 lewat tusukan Devide Bartesaghi. Selanjutny,a pada menit ke-47, tuan rumah AC Milan berhasil unggul lebih dahulu yang d...

Tata Cara dan Tahapan RPJPD, RPJMD, dan RKPD dalam Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia: Kajian Normatif dan Partisipatif

Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN - PERENCANAAN pembangunan daerah merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui tata kelola pemerintahan yang demokratis, efisien, dan berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, sistem ini diatur secara normatif melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diperinci dalam Permendagri No. 86 Tahun 2017. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah terdiri atas tiga dokumen utama: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Ketiganya disusun secara berjenjang, partisipatif, dan berorientasi hasil (UU No. 23/2014, Pasal 258). RPJPD merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 20 tahun. Ia berfungsi sebagai arah strategis pembangunan daerah yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPD d...