Langsung ke konten utama

Proklamasi yang Tertunda

Serial Refleksi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945-2025 (visual atas bantuan AI)


MENJUAL HARAPAN - Kemerdekaan, dalam makna terdalamnya, bukan sekadar peristiwa historis yang terjadi pada 17 Agustus 1945. Ia merupakan proses yang terus-menerus, sebuah janji yang belum sepenuhnya ditepati. Proklamasi adalah deklarasi, tetapi kemerdekaan adalah perjuangan yang tak pernah selesai. Di tengah gegap gempita perayaan, kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar telah merdeka?

Di jalan-jalan kampung, di lorong-lorong kota, dan di ruang-ruang pelayanan publik, kemerdekaan sering kali terasa seperti ilusi. Warga masih antre berjam-jam untuk layanan yang seharusnya mudah. Anak-anak masih belajar di ruang kelas yang bocor. Petani masih bergantung pada tengkulak. Di mana letak kemerdekaan dalam realitas ini?

Proklamasi yang tertunda merupakan metafora tentang janji negara yang belum ditepati. Ia bukan sekadar kritik, tetapi panggilan untuk refleksi. Kita telah terlalu lama merayakan simbol, tanpa menggugat substansi. Bendera dikibarkan, tetapi suara rakyat tak pernah benar-benar didengar.

Dalam tafsir filosofis, kemerdekaan adalah kebebasan untuk menentukan nasib sendiri secara kolektif. Akan tetapi, dalam praktik politik hari ini, nasib rakyat ditentukan oleh segelintir elite. Oligarki bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang siapa yang berhak bicara, siapa yang berhak menentukan arah bangsa.

Narasi resmi tentang kemerdekaan sering kali menyingkirkan suara-suara kecil. Sejarah ditulis oleh negara, bukan oleh warga. Padahal, kemerdekaan lahir dari keberanian rakyat biasa: ibu-ibu yang menyembunyikan pejuang, guru-guru yang mengajar dengan risiko, petani yang memberi makan gerilyawan. Mereka adalah aktor utama yang dilupakan.

Kesenjangan sosial hari ini merupakan bentuk baru dari penjajahan. Bukan oleh bangsa asing, tetapi oleh sistem yang tak berpihak. Ketika anak-anak di desa tak punya akses internet, sementara elite bicara tentang revolusi digital, kita sedang menyaksikan bentuk baru dari ketidakadilan struktural.

Kemerdekaan yang tertunda juga tercermin dalam hukum yang tak berpihak. Ketika koruptor bisa tersenyum di depan kamera, sementara pencuri ayam dihukum berat, kita tahu bahwa hukum belum menjadi alat keadilan. Ia masih menjadi alat kekuasaan.

Pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan pembebasan, justru menjadi ruang reproduksi ketimpangan. Kurikulum yang seragam, ujian yang menekan, dan sistem yang tak menghargai konteks lokal membuat anak-anak kehilangan makna belajar. Mereka diajarkan untuk patuh, bukan untuk berpikir.

Pelayanan publik yang dibungkus jargon digitalisasi sering kali kehilangan jiwa. Aplikasi dibuat, dashboard dipamerkan, tetapi warga tetap kebingungan. Teknologi menjadi topeng, bukan alat pembebasan. Di sinilah kita perlu menggugat: digitalisasi untuk siapa?

Kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari penjajahan epistemik. Ketika pengetahuan warga dianggap tidak valid, ketika pengalaman lokal dianggap tidak ilmiah, kita sedang menjajah pikiran sendiri. Kemerdekaan harus dimulai dari pengakuan terhadap pengetahuan rakyat.

Dalam dialog dengan komunitas, sering muncul pertanyaan sederhana namun mendalam: “Apa arti merdeka bagi kami?” Jawabannya beragam: bisa makan tiga kali sehari, bisa menyekolahkan anak, bisa bicara tanpa takut. Kemerdekaan adalah pengalaman, bukan slogan.

Proklamasi yang tertunda merupakan ajakan untuk menyusun ulang narasi kebangsaan. Bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Dari suara warga, dari pengalaman komunitas, dari luka-luka yang belum sembuh. Kita perlu mendengarkan bukan hanya yang lantang, tetapi juga yang lirih.

Simbol-simbol negara perlu ditafsir ulang. Garuda bukan hanya lambang kekuatan, tetapi juga tanggung jawab. Merah-putih bukan hanya warna, tetapi janji keberpihakan. Pancasila bukan hanya dokumen, tetapi komitmen etis. Kita perlu menghidupkan kembali makna di balik simbol.

Kemerdekaan yang tertunda bukan alasan untuk putus asa, tetapi panggilan untuk bertindak. Ia adalah ruang harapan, ruang advokasi, ruang transformasi. Kita bisa mulai dari hal kecil: mendengar warga, memfasilitasi dialog, membangun pelayanan yang bermakna.

Ketidakadilan harus dilawan, di sana, kemerdekaan diuji, dimaknai dan diperjuangkan kembali.

Episode ini bukan penutup, tetapi pembuka. Ia mengajak kita untuk tidak sekadar merayakan, tetapi juga menggugat. Untuk tidak sekadar mengenang, tetapi juga menyusun ulang. Proklamasi bukan hanya masa lalu, tetapi juga masa depan yang harus kita rajut bersama.

Dan mungkin, kemerdekaan sejati adalah ketika warga bisa berkata: “Ini negeri kami, dan kami berhak menentukan arah.” Bukan dengan amarah, tetapi dengan keberanian. Bukan dengan retorika, tetapi dengan tindakan. Proklamasi yang tertunda harus ditepati—oleh kita semua. (Episode-1 dari Serial Refleksi Kemerdekaan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tata Cara dan Tahapan RPJPD, RPJMD, dan RKPD dalam Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia: Kajian Normatif dan Partisipatif

Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN - PERENCANAAN pembangunan daerah merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui tata kelola pemerintahan yang demokratis, efisien, dan berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, sistem ini diatur secara normatif melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diperinci dalam Permendagri No. 86 Tahun 2017. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah terdiri atas tiga dokumen utama: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Ketiganya disusun secara berjenjang, partisipatif, dan berorientasi hasil (UU No. 23/2014, Pasal 258). RPJPD merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 20 tahun. Ia berfungsi sebagai arah strategis pembangunan daerah yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPD d...

Persita Tangerang Gulingkan Trend Positif PSIM Yogyakarta

  MENJUAL HARAPAN - Pekan kedelapan BRI Super League 2025/2026, menjadi momen keberuntungan Persita Tangerang saat menjamu tim PSIM Yogyakarta yang berlangsung di Stadion Indomilk Arena, Tangerang, Jumat (17/10/2025). Pendekar Cisadane menggulingkan trend positif PSIM Yogyakarta dengan kemenangan 4-0. Eber Bessa menggolkan gol pembuka atas operan pemain setimnya Rayco Rodriguez   pada menit ke 23. K edudukan 1-0 ini tidak alami perubahan lagi hingga pertandingan turun minum. U sai istirahat, kedua kesebelasan kembali ke lapangan, tuan rumah Persita Tangerang yang sementara sudah unggul 1-0 atas PSIM Yogayarkta, tampak aksi-aksi serangannya terus menekan pertahanan tim lawan. S erangan demi serangan para pemain Pendekar Cisadane ini akhirnya kembali membobol gawang kiper PSIM pada meint ke-70 yang dicetak oleh Rayco Rodriguez . S udah unggul 2 gol, Persita Tangerang makin agresif melakukan serangan demi serangannya, kendati para pemain PSIM berusaha menghadangnya, namun hadanga...

Potret 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Antara Harapan dan Keraguan Publik

Sumber: setneg.go.id Oleh Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN - Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran telah menjadi panggung dinamis bagi eksperimen kebijakan, diplomasi global, dan pertarungan persepsi publik. Laporan INDEF bertajuk “Rapor Netizen” mengungkapkan lanskap digital yang penuh sorotan, kritik, dan harapan. Dari reshuffle kabinet hingga program makan bergizi gratis, netizen menjadi aktor penting dalam menilai efektivitas dan etika pemerintahan. Presiden Prabowo menunjukkan orientasi geopolitik yang berbeda dari pendahulunya. Hampir 70% kunjungannya adalah lawatan ke luar negeri, berbanding terbalik dengan Jokowi yang 75% kunjungannya fokus ke dalam negeri. Prabowo tampak ingin menegaskan posisi Indonesia sebagai pemain strategis di tiga benua: Asia, Eropa, dan Amerika. Namun, di dalam negeri, dinamika politik tak kalah intens. Tiga kali reshuffle kabinet dalam satu tahun, melibatkan 10 pejabat setingkat menteri, menjadikan Prabowo sebagai pr...