“The future is not what it used to be.”
— Paul Valéry, penyair dan filsuf Prancis
“Kita hidup di dunia yang penuh gejolak, di mana kepercayaan terhadap tatanan berbasis aturan semakin goyah.”
— Susilo Bambang Yudhoyono, Tokyo Conference 2025 ((lihat: Memotret Selatan Sebagai Gerakan Global - Universitas Gadjah Mada)
MENJUAL HARAPAN - Dunia hari ini berdiri di atas reruntuhan tatanan yang dulu diyakini stabil. Multilateralisme melemah, lembaga-lembaga internasional kehilangan legitimasi, dan krisis kepercayaan terhadap tata kelola global kian dalam. Pandemi, konflik bersenjata, perubahan iklim, dan disinformasi telah memperlihatkan bahwa sistem yang dibangun pasca-Perang Dunia II tak lagi mampu menjawab tantangan zaman. (Lihat; Apa itu ‘Global South’ – kubu geopolitik yang sedang naik daun? Apa itu ‘Global South’ – kubu geopolitik yang sedang naik daun?)
“Ketika satu negara menarik diri, harus ada negara lain yang siap melangkah maju. Dunia sangat membutuhkan kepemimpinan yang berani dan berwawasan luas.”— SBY, Tokyo Conference 2025 (lihat: Memotret Selatan Sebagai Gerakan Global - Universitas Gadjah Mada)
Namun, di tengah reruntuhan itu, muncul bayang-bayang dunia lain yang mungkin: dunia yang tidak lagi dikendalikan oleh satu kutub kekuasaan, tetapi dibentuk oleh jaringan solidaritas lintas Selatan Global. Dunia yang tidak lagi menempatkan negara-negara berkembang sebagai objek bantuan, tetapi sebagai subjek sejarah yang aktif dan reflektif.
“Global South bukan sekadar kategori geografis, melainkan artikulasi politik yang menekankan kesetaraan dan solidaritas.”
— Rizky Alif Alvian, Institute of International Studies UGM (lihat: https://ugmpress.ugm.ac.id/id/product/sosial-politik/the-global-south-refleksi-dan-visi-studi-hubungan-internasional)
Dalam konteks ini, pertemuan antara Indonesia dan Arab Saudi, atau kehadiran Indonesia di forum-forum non-Barat seperti SPIEF, bukan sekadar diplomasi teknis. Ia adalah bagian dari upaya membangun tatanan alternatif—sebuah arsitektur dunia yang lebih inklusif, adil, dan berakar pada pengalaman historis negara-negara yang pernah dimarjinalkan.
“Tata kelola global di era multipolar menghadapi ujian besar, mulai dari rivalitas geopolitik, krisis kepercayaan, hingga ketidaksetaraan global. Namun, dalam setiap tantangan terkandung peluang untuk membangun sistem baru yang lebih representatif.”—Fani Azki Rizqiyani, Kumparan Politik Internasional (lihat: Paradigma Geopolitik Prabowo)
Bayang-bayang dunia lain ini bukan utopia. Ia lahir dari kesadaran bahwa dunia lama sedang retak, dan bahwa kekosongan kepemimpinan global harus diisi oleh kekuatan moral baru—bukan yang mendominasi, tetapi yang mendengarkan; bukan yang memaksakan, tetapi yang mengundang.
“Dari konflik hingga krisis iklim, kita menghadapi tantangan yang saling terkait yang membutuhkan kerja sama kolektif.”
— Mark Elsner, World Economic Forum (Lihat:https://theconversation.com/apa-itu-global-south-kubu-geopolitik-yang-sedang-naik-daun-209086)
Indonesia, dengan sejarah non-blok dan posisi strategisnya di Asia Tenggara, memiliki peluang untuk menjadi penjembatan dunia multipolar. Bukan sebagai penengah pasif, tetapi sebagai arsitek aktif dari tatanan baru yang lebih manusiawi. Di sinilah peran pemikiran geopolitik reflektif menjadi penting: bukan untuk merancang strategi dominasi, tetapi untuk membayangkan dunia yang lebih adil—dan kemudian mewujudkannya.*
Komentar