“Power is not only what you have, but what the others think you have.”
— Saul Alinsky, Rules for Radicals
MENJUAL HARAPAN - Dalam sejarah hubungan internasional, kekuasaan tidak hanya dibangun dari militer dan ekonomi, melainkan juga dari persepsi. Ketika suatu bangsa dianggap berbahaya, dominan, atau tak terbendung, maka arsitektur global pun menyusun diri berdasarkan ketakutan. Ketakutan ini menciptakan aliansi, zona pengaruh, dan narasi ancaman yang membentuk kebijakan luar negeri hingga sistem keamanan regional.
Kita hidup di dunia di mana epistemologi kekuasaan didominasi oleh asumsi tentang aktor yang berpotensi mengguncang tatanan. Dari “ancaman nuklir” Korea Utara hingga “pengaruh ekspansif” Tiongkok, narasi ini seringkali tidak sepenuhnya faktual—tetapi sangat menentukan arah geopolitik dunia.
“To understand global power, one must first study its grammar: what is feared, who is framed, and how history is remembered.”
— Shahrbanou Tadjbakhsh, Security as Emancipation
Epistemologi kekuasaan global adalah cara dunia membentuk pengetahuan tentang siapa yang memiliki kuasa—dan siapa yang pantas dikendalikan. Ia membentuk logika institusi internasional, laporan intelijen, hingga wacana media global. Dalam pendekatan ini, ketakutan bukan sekadar perasaan, tetapi alat pengatur dunia.
Indonesia dan negara-negara Selatan Global sering kali hadir sebagai “penyeimbang” atau “non-blok”—tetapi jarang ditampilkan sebagai produsen makna geopolitik. Padahal, kekuasaan yang tidak ditopang oleh ketakutan bisa membangun tatanan baru yang lebih berdasar pada harapan, bukan kekhawatiran.
“Negara-negara dari Selatan Global memiliki kekuatan epistemik untuk membalik logika dominasi menjadi narasi solidaritas.”
— Rizky Alif Alvian, Global South Studies, Vol. 12 No. 3, 2023
Esai ini mengajak pembaca membedah arsitektur geopolitik dari cara dunia belajar merasa takut—dan bagaimana kita bisa membangun paradigma baru yang tidak bergantung pada fobia strategis, tapi pada pengakuan yang jujur dan saling percaya.*
Komentar