“Diplomacy is the art of listening before speaking.”
— Harold Nicolson, diplomat dan sejarawan Inggris
MENJUAL HARAPAN - Di tengah dunia yang semakin gaduh oleh retorika kekuasaan dan kompetisi hegemonik, diplomasi yang mendengar tampak seperti jalan sunyi—tidak populer, tidak spektakuler, tetapi justru menyimpan kekuatan transformatif. Dalam dunia yang dipenuhi oleh “politik yang berbicara”, kita lupa bahwa mendengar adalah tindakan politik yang paling radikal: ia menunda penghakiman, membuka ruang pengakuan, dan memungkinkan martabat hadir tanpa syarat.
“Diplomasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga tentang menciptakan ruang di mana pihak lain merasa didengar dan dihargai.” — R.P. Barston, dalam Modern Diplomacy (2006)
Dalam konteks ini, diplomasi bukan sekadar alat negara untuk mencapai kepentingan nasional, tetapi juga praktik etis yang mengakui keberadaan pihak lain sebagai subjek, bukan objek. Diplomasi yang mendengar adalah bentuk keberanian untuk tidak segera membalas, tetapi menampung. Ia adalah bentuk kecerdasan empatik dalam politik luar negeri.
Pertemuan antara Presiden Prabowo dan Putra Mahkota MBS, jika dibaca dalam kerangka ini, bukan hanya soal kerja sama strategis, melainkan juga tentang pengakuan timbal balik—bahwa masing-masing negara membawa luka sejarah, harapan masa depan, dan nilai-nilai yang layak didengar. Dalam dunia Muslim yang kerap direduksi menjadi “wilayah konflik”, pertemuan ini menjadi simbol bahwa diplomasi yang mendengar adalah mungkin dan perlu.
“Diplomasi yang bermartabat adalah diplomasi yang tidak hanya memperjuangkan kepentingan, tetapi juga menjaga wajah dan harga diri bangsa.”— Darmansjah Djumala, mantan Dubes RI untuk Austria dan PBB di Wina (berkeadilan.com)
Lebih jauh, diplomasi yang mendengar adalah bentuk perlawanan terhadap politik yang memekakkan. Ia menolak logika dominasi, dan memilih jalan dialog. Dalam istilah Emmanuel Levinas, ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap “yang lain”—sebuah etika yang mendahului politik.
“To listen is to be vulnerable. But in that vulnerability lies the possibility of peace.”— Shahrbanou Tadjbakhsh, pakar keamanan manusia, Sciences Po Paris
Dalam praktiknya, diplomasi yang mendengar menuntut keterampilan yang jarang diajarkan: kesabaran, kepekaan budaya, dan keberanian untuk tidak selalu menjadi pusat. Ia menuntut negara untuk hadir bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai mitra yang setara. Dan dalam dunia multipolar yang sedang tumbuh, pendekatan ini bukan hanya etis, tetapi juga strategis.*
Baca juga: Kekuasaan sebagai Pertemuan: Dunia Muslim dan Rekonstruksi Makna Kuasa yang Manusiawi
Komentar