MENJUAL HARAPAN - KATA yang tepat untuk menyebut bencana di wilayah Aceh dan Sumatera, adalah “prihatin”. Hamparan lumpur yang menyelimuti Aceh, dan pegunungan Sumatera yang rontok diterjang air, ada satu hal yang lebih dingin dari hujan Desember, yaitu sikap diam pemerintah pusat.
Data terakhir menunjukkan lebih dari 1.050 nyawa telah melayang. Ratusan lainnya, mungkin ribuan fakta di lapangan, masih dinyatakan hilang.
Bahkan, secara empirik, skala kerusakan ini telah melumpuhkan denyut nadi ekonomi dan sosial di tiga provinsi sekaligus. Akan tetapi, hingga detik ini, Jakarta masih tampak enggan mengetukkan palu "Status Bencana Nasional". Pertanyaannya sederhana namun menyakitkan, berapa banyak lagi nisan yang harus tertancap agar negara merasa ini adalah darurat?
Pemerintah pusat acapkali berlindung di balik argumen bahwa pemerintah daerah masih "mampu" menangani situasi. Ini adalah sesat pikir birokrasi yang mematikan. Ketika infrastruktur jalan antar-provinsi putus, ribuan hektar sawah fuso, dan trauma psikologis massal melumpuhkan produktivitas, mengandalkan APBD daerah yang terbatas adalah bentuk penelantaran terstruktur.
Memang, menetapkan status Bencana Nasional bukan sekadar soal administratif untuk mencairkan Dana Siap Pakai (DSP). Ini soal komando. Dengan status tersebut, kendali berada di bawah satu komando pusat yang terintegrasi, melibatkan seluruh sumber daya TNI/Polri secara masif, dan memberikan kepastian hukum bagi bantuan internasional untuk masuk tanpa hambatan birokrasi yang berbelit.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa bencana di Sumatera kali ini adalah akumulasi dari dosa ekologis selama puluhan tahun. Deforestasi yang masif dan kebijakan tata ruang yang kompromistis telah mengubah hujan menjadi senjata pembunuh massal.
Negara, melalui kebijakan perizinannya di masa lalu, turut andil dalam menciptakan kerentanan ini. Maka, sangatlah tidak etis jika saat bencana tiba, negara justru menarik diri dan membiarkan daerah memikul beban sendirian. Mengakui ini sebagai Bencana Nasional adalah bentuk tanggung jawab moral negara atas kegagalannya melindungi ruang hidup rakyatnya.
Ketimpangan perhatian ini hanya akan memperlebar luka sosial dan mencederai rasa keadilan sebagai satu bangsa.
Kita tidak butuh kunjungan seremoni pejabat yang hanya berfoto di atas reruntuhan. Yang dibutuhkan rakyat Sumatera saat ini adalah pengerahan sumber daya skala penuh.
Karenanya, jangan biarkan rakyat merasa mereka yatim piatu di negeri sendiri. Mengulur waktu menetapkan status Bencana Nasional sama saja dengan memperpanjang penderitaan korban di pengungsian yang kini mulai diserang penyakit dan kelaparan.
Seribu nyawa bukan sekadar angka statistik dalam laporan. Mereka adalah ayah, ibu, dan anak-anak yang hak hidupnya gagal dilindungi negara. Sebelum tanah Sumatera benar-benar menjadi kuburan massal yang terlupakan, ketuklah pintu darurat itu sekarang juga. Jika tidak, sejarah akan mencatat pemerintahan ini sebagai rezim yang paling fasih beretorika, namun paling gagap dalam kemanusiaan.*
Komentar