Langsung ke konten utama

Retaknya Panggung dan Tarian Bebas

Retangknya Panggung dan Tarian Bebas (Seri-8 dari "Dagelan Politik)


MENJUAL HARAPAN - Bisikan-bisikan dari balik tirai kini berubah menjadi jeritan. Jeritan kekecewaan, jeritan kemarahan, dan jeritan harapan. Panggung Nusantara mulai retak, bukan karena gempa, melainkan karena tekanan dari bawah. Para penonton tidak lagi mau menjadi penonton pasif. Mereka mulai bergerak, menciptakan tarian mereka sendiri, tarian bebas yang tidak diatur oleh Para Dalang Sesungguhnya.

Para Pengatur Irama, Si Juru Bicara Berapi-api, dan Si Penenun Kata-kata, terkejut melihat perubahan ini. Mereka mencoba menahan para penonton, mencoba memaksa mereka untuk kembali duduk tenang, dan kembali menikmati sandiwara yang mereka sajikan. Namun, usaha mereka sia-sia. Para penonton kini telah memiliki irama sendiri, irama yang berasal dari hati nurani mereka yang paling dalam.

Si Jujur, si kambing putih, ikut menari dalam tarian bebas ini. Ia mengembik riang, melompat-lompat di padang rumput yang kini mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ia melihat bagaimana penonton yang tadinya tertindas, kini berdiri tegak, dengan mata yang memancarkan keberanian. Mereka tidak lagi takut pada topeng-topeng atau jubah-jubah penindas. Mereka telah menemukan kembali kekuatan mereka sendiri.

Para Dalang Sesungguhnya mulai panik. Mereka mencoba menarik benang kendali, namun benang-benang itu terasa longgar, bahkan putus satu per satu. Boneka-boneka mereka di panggung tidak lagi menuruti perintah. Ini adalah mimpi buruk mereka: ketika rakyat memiliki kesadaran dan kehendak sendiri. Mereka mencoba menyebarkan ketakutan, menciptakan kekacauan, dan memecah belah persatuan, namun kali ini usaha mereka tidak berhasil.

Beberapa penonton yang awalnya ragu, kini ikut bergabung dalam tarian bebas ini. Mereka melihat bagaimana semangat persatuan mampu menggoyahkan fondasi panggung yang kokoh itu. Mereka melihat bagaimana suara-suara kecil yang bersatu mampu menciptakan gelombang perubahan yang dahsyat. Ini adalah momen kebangkitan, ketika rakyat menyadari bahwa mereka adalah pemilik sah panggung ini.

Bahkan kawanan burung pipit dan ikan lele ikut menunjukkan solidaritas mereka. Burung-burung beterbangan membentuk formasi-formasi indah di langit, seolah-olah merayakan kebebasan yang mulai dirasakan. Ikan-ikan lele melompat-lompat di sungai, menciptakan riak-riak yang melambangkan kebangkitan. Ini adalah tarian alam yang menyambut kebebasan.

Si Jujur, si kambing putih, merasa sangat bahagia. Ia melihat bagaimana retakan di panggung mulai membesar, dan bagaimana cahaya kebenaran mulai masuk melalui celah-celah itu. Ia tahu bahwa dagelan ini akan segera berakhir. Ia mengembik, "Ini adalah tarian kebenaran! Ini adalah tarian kebebasan!" Dan kali ini, semua orang mengerti apa yang ia maksud. (Seri-8 dari “Dagelan Politik)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...