HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Pintu Gerbang - Sesi 4: Hijrah yang Belum Usai

"Selama ada kuasa yang dipelihara untuk menindas, 

selama itu hijrah adalah tugas, bukan kenangan"


MENJUAL HARAPAN - Malam kembali turun di kota, namun kali ini tidak senyap. Bisik-bisik tentang Piagam Baru yang lahir dari kampus kecil itu mulai menjalar ke berbagai ruang: ruang guru, ruang komunitas adat, hingga sel kecil di penjara ide.

Di ruang-ruang itu, para pemuda menyalin pasal-pasal etika dengan spidol lusuh di tembok kayu. Seorang petani membacakan kutipan dari Hijrah Kecil dalam rapat desa yang biasanya sunyi. Di layar ponsel, seorang jurnalis membagikan suara-suara rakyat yang tak muat di saluran televisi. Hijrah telah mengambil bentuknya sendiri—tak lagi bergerak dari kota ke kota, tapi dari kesadaran ke kesadaran.

Sementara itu, mereka bertiga—si penulis, si aktivis, dan si pembela hukum—berjalan di atas jalan berbatu menuju sebuah dusun yang sedang melawan penggusuran. Mereka tak berkoar, tak memakai atribut. Tapi di pundak mereka, terbawa naskah-naskah yang belum selesai, dan di hati mereka, tertanam satu kalimat:

“Hijrah bukan tujuan, tapi kompas yang menjaga kita dari diam.”

Sang dosen sepuh, kini tidak lagi mengajar secara formal, memilih menjadi penulis sunyi yang meletakkan naskah-naskahnya di laci-laci pustaka rakyat. Ia tahu, ia tidak akan melihat perubahan besar itu sekarang. Tapi ia juga tahu, tak ada perubahan besar yang lahir dari ambisi. Semuanya dari kesetiaan pada makna.

“Tahun 1447 Hijriah akan berlalu seperti waktu lainnya.

Tapi jika hijrah dipahami sebagai tekad untuk terus menolak tunduk pada yang zalim,

maka waktu tak lagi berjalan, ia bersekutu.”

tamat


Tutup Iklan