MENJUAL HARAPAN – Fraud institusional bukan sekadar tindakan individu yang menyimpang, melainkan bentuk penyimpangan yang telah menyatu dalam struktur dan budaya organisasi. Ia bukan lagi “penyakit” yang menyerang dari luar, tetapi telah menjadi bagian dari DNA institusi itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini menjelma dalam bentuk korupsi yang terstruktur, manipulasi anggaran, dan pembiaran terhadap praktik-praktik tidak etis yang berlangsung secara sistemik.
Menurut survei Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Indonesia, jenis fraud yang paling merugikan di Indonesia adalah korupsi, dengan persentase mencapai 64% dari seluruh kasus yang teridentifikasi. Ini menunjukkan bahwa fraud bukan hanya terjadi secara sporadis, tetapi telah menjadi pola yang berulang dan diterima secara sosial dalam banyak institusi. Ketika penyimpangan menjadi kebiasaan, maka kita sedang berhadapan dengan fraud institusional.
Sosiolog Robert K. Merton pernah menyatakan bahwa “institusi dapat menciptakan kondisi yang mendorong deviasi ketika norma-norma formal bertentangan dengan realitas struktural” (Merton, 1968). Dalam birokrasi publik, misalnya, tuntutan kinerja yang tinggi tanpa dukungan sumber daya yang memadai sering kali mendorong pegawai untuk mencari “jalan pintas” yang tidak etis. Ketika sistem menuntut hasil tetapi tidak menyediakan alat yang sah untuk mencapainya, maka fraud menjadi solusi pragmatis.
Fraud institusional juga diperkuat oleh lemahnya mekanisme pengawasan internal. Banyak lembaga memiliki unit pengawasan, tetapi sering kali hanya berfungsi sebagai formalitas. Dalam banyak kasus, pengawas justru menjadi bagian dari jaringan penyimpangan. Seperti diungkap oleh Dian Kartika Rahajeng dalam bukunya Kupas Tuntas Kasus Fraud di Indonesia, “Pencegahan fraud tidak cukup dengan regulasi, tetapi harus dibarengi dengan pembentukan budaya integritas dan lingkungan kerja yang sehat”.
Budaya organisasi memainkan peran sentral dalam membentuk perilaku. Ketika loyalitas kepada atasan lebih dihargai daripada kepatuhan terhadap etika, maka fraud menjadi bagian dari strategi bertahan hidup. Edgar Schein (2010) menyebut ini sebagai “cultural embedding”, di mana nilai-nilai informal lebih dominan daripada aturan formal. Dalam konteks ini, pelanggaran bukan lagi dianggap sebagai kesalahan, tetapi sebagai adaptasi terhadap sistem.
Fenomena fraud institusional juga dapat dilihat dalam praktik “mark-up” anggaran, manipulasi laporan keuangan, dan pengadaan barang/jasa yang tidak transparan. Praktik-praktik ini sering kali melibatkan lebih dari satu individu dan berlangsung lintas divisi. Ini bukan lagi fraud personal, melainkan fraud yang diinstitusikan. Seperti dikatakan oleh Transparency International, “Korupsi sistemik adalah ketika korupsi menjadi bagian dari norma dan prosedur institusi itu sendiri” (Transparency International, 2020).
Dalam dunia akademik, fraud institusional juga terjadi dalam bentuk plagiarisme yang dilegalkan, manipulasi data penelitian, dan pemberian gelar kehormatan tanpa dasar ilmiah. Ketika institusi pendidikan gagal menjaga integritas akademik, maka ia turut melanggengkan ketidakjujuran intelektual. Pierre Bourdieu menyebut ini sebagai “symbolic violence”, di mana institusi menggunakan otoritasnya untuk menjustifikasi penyimpangan (Bourdieu, 1991).
Fraud institusional bukan hanya merusak kredibilitas organisasi, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan pelayanan publik. Ketika masyarakat menyaksikan bahwa pelanggaran etika tidak ditindak, atau bahkan dilindungi oleh struktur kekuasaan, maka skeptisisme terhadap institusi menjadi keniscayaan. Francis Fukuyama (2013) menekankan bahwa “kepercayaan adalah modal sosial yang paling penting dalam pembangunan institusi yang efektif.” Tanpa kepercayaan, institusi kehilangan legitimasi.
Dalam konteks Indonesia, fraud institusional sering kali berkelindan dengan patronase politik dan oligarki. Penempatan jabatan strategis berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi, membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang. Studi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa banyak kasus korupsi melibatkan aktor-aktor yang memiliki koneksi kuat dengan elite politik. Ini memperkuat tesis bahwa fraud institusional bukan hanya soal individu, tetapi soal desain kekuasaan yang tidak demokratis.
Penting untuk memahami bahwa fraud institusional tidak selalu tampak dalam bentuk pelanggaran hukum. Ia bisa hadir dalam bentuk “grey practices” — praktik-praktik yang secara hukum sah, tetapi secara etis meragukan. Misalnya, penggunaan anggaran untuk kegiatan seremonial yang tidak berdampak pada pelayanan publik. Di sinilah pentingnya membedakan antara kepatuhan formal dan integritas substantif. Seperti dikatakan oleh Michael Power (1997), “Audit dan kontrol formal sering kali gagal menangkap esensi dari integritas organisasi.”
Untuk membongkar fraud institusional, dibutuhkan pendekatan multidimensi. Pertama, reformasi struktural yang menata ulang sistem insentif dan akuntabilitas. Kedua, pembentukan budaya organisasi yang menolak kompromi terhadap etika. Ketiga, partisipasi publik yang aktif dalam pengawasan dan evaluasi. Keempat, perlindungan terhadap whistleblower sebagai aktor kunci dalam deteksi fraud. Tanpa perlindungan ini, keberanian untuk melawan sistem akan selalu terancam.
Dalam praktiknya, pendekatan seperti participatory audit dan citizen report card telah terbukti efektif di beberapa negara. Di India, misalnya, penggunaan social audit dalam program pembangunan desa berhasil mengungkap penyimpangan anggaran dan meningkatkan transparansi. Ini menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan secara aktif, maka ruang bagi fraud institusional bisa dipersempit. Seperti dikatakan oleh Archon Fung dan Erik Olin Wright (2003), “Demokrasi yang radikal menuntut keterlibatan warga dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan institusi.”
Namun, tantangan terbesar tetap pada resistensi dari dalam institusi. Banyak aktor yang telah menikmati keuntungan dari sistem yang korup akan berusaha mempertahankan status quo. Di sinilah pentingnya kepemimpinan transformatif yang berani mengambil risiko untuk perubahan. Menurut Ronald Heifetz (1994), “Kepemimpinan adaptif adalah kemampuan untuk menggerakkan sistem menuju perubahan meskipun menghadapi resistensi internal yang kuat.”
Fraud institusional, cermin dari kegagalan kolektif dalam menjaga integritas sistem. Ia bukan hanya soal pelanggaran, tetapi soal pembiaran. Ketika penyimpangan menjadi norma, maka kita sedang menghadapi krisis etika yang mendalam. Tugas kita bukan hanya membongkar fraud, tetapi membangun ulang fondasi institusi dengan nilai-nilai kejujuran, partisipasi, dan keberpihakan pada publik. (Sjs_267)
Komentar