MENJUAL HARAPAN - DALAM upaya memperkuat transparansi dan akuntabilitas, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggulirkan kebijakan baru yang mewajibkan setiap anggota melaporkan kegiatan reses melalui aplikasi pelaporan daring. Langkah ini digadang sebagai bagian dari transformasi kelembagaan menuju parlemen yang lebih terbuka dan bertanggung jawab. Akan tetapi, di balik semangat reformasi tersebut, muncul sejumlah pertanyaan mendasar tentang efektivitas, keadilan, dan dampaknya terhadap kualitas representasi politik.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa aplikasi pelaporan sedang disiapkan oleh Sekretariat Jenderal DPR. Melalui sistem ini, setiap anggota wajib mengunggah dokumentasi kegiatan reses, termasuk bentuk kegiatan, lokasi, dan tindak lanjut dari aspirasi masyarakat ((Kompas.id, 13/10/2025). Kewajiban ini telah diatur dalam Tata Tertib DPR dan akan diawasi oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dengan sanksi berjenjang bagi yang melanggar.
Secara normatif, pelaporan kegiatan reses merupakan bentuk pertanggungjawaban publik. Anggota DPR, sebagai wakil rakyat, seharusnya memberikan laporan atas aktivitas mereka di daerah pemilihan (dapil). Namun, pelaporan digital bukan sekadar soal unggah dokumen. Ia menyentuh aspek budaya kerja parlemen, kapasitas teknologi, dan kesiapan institusional.
Dasco menekankan bahwa kegiatan reses sangat beragam dan tidak bisa diseragamkan. Setiap dapil memiliki karakteristik unik, dan kegiatan anggota DPR mencerminkan respons terhadap kebutuhan lokal. Justru karena keragaman ini, pelaporan standar bisa menjadi jebakan formalisasi yang mengabaikan substansi. Dokumentasi seperti foto dan surat bisa menjadi simbol kerja, bukan esensi kerja itu sendiri.
Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, menyambut baik kebijakan ini namun menekankan pentingnya indikator penilaian yang jelas dan rigid. Tanpa indikator yang terukur dan objektif, sanksi yang dijatuhkan bisa bersifat arbitrer (Lihat Kompas.id, 13/10/2025). Dalam sistem demokrasi, sanksi terhadap wakil rakyat harus didasarkan pada pelanggaran yang terdefinisi, bukan interpretasi subjektif.
Di sisi lain, anggota Fraksi PDI-P, Sturman Panjaitan, melihat aplikasi sebagai alat pemantauan publik. Menurutnya, sistem ini akan memastikan bahwa anggota DPR benar-benar menjalankan kegiatan reses sesuai ketentuan dan dapat dipantau oleh konstituen (Lihat Kompas.id, 13/10/2025). Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana masyarakat memiliki akses dan literasi digital untuk memanfaatkan aplikasi tersebut?
Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang beban kerja anggota DPR. Dalam praktiknya, banyak anggota yang harus menanggung biaya tambahan untuk memenuhi ekspektasi konstituen. Jika pelaporan menjadi kewajiban formal, apakah ada dukungan anggaran dan teknis yang memadai? Tanpa itu, kebijakan ini bisa menjadi beban tambahan yang tidak proporsional.
MKD akan menjadi pengawas pelaksanaan aturan ini. Namun, efektivitas MKD dalam menegakkan etika dan disiplin selama ini masih dipertanyakan. Apakah MKD memiliki kapasitas dan independensi untuk menilai pelaporan secara objektif? Atau justru akan terjadi politisasi dalam penegakan sanksi?
Transformasi digital di parlemen memang perlu didorong. Namun, digitalisasi bukan sekadar soal aplikasi. Ia harus disertai reformasi budaya kerja, peningkatan kapasitas, dan partisipasi publik. Tanpa itu, aplikasi pelaporan hanya akan menjadi simbol modernisasi yang tidak menyentuh akar persoalan representasi politik.
Kebijakan ini juga harus dilihat dalam konteks relasi antara pusat dan daerah. Kegiatan reses adalah momen penting bagi anggota DPR untuk menjembatani aspirasi lokal ke tingkat nasional. Jika pelaporan terlalu birokratis, ia bisa menghambat fleksibilitas dan kreativitas anggota dalam merespons kebutuhan dapil.
Dengan demikian, pelaporan kegiatan reses melalui aplikasi merupakan langkah awal yang patut diapresiasi. Akan tetapi, keberhasilannya tidak ditentukan oleh teknologi semata, melainkan oleh komitmen politik, desain kebijakan yang inklusif, dan partisipasi publik yang bermakna. Tanpa itu, transparansi hanya akan menjadi slogan, bukan kenyataan.*
Komentar