MENJUAL HARAPAN - Ketika dana publik yang seharusnya menggerakkan pembangunan justru mengendap di bank, kita tidak sedang membicarakan angka semata. Kita sedang menghadapi krisis kepercayaan, disfungsi fiskal, dan ketidakadilan struktural dalam tata kelola negara.
Hingga kuartal III tahun 2025, lebih dari Rp 234 triliun dana pemerintah daerah (Pemda) tercatat tidak terserap dan tertahan di rekening bank. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut ini sebagai akibat dari rendahnya serapan belanja APBD, meski transfer dari pusat telah dilakukan tepat waktu. Pernyataan ini memicu ketegangan antarlembaga, memperlihatkan bahwa koordinasi fiskal kita belum sehat.
Akar masalahnya lebih dalam. Banyak daerah menyusun anggaran tanpa mempertimbangkan kapasitas eksekusi. Proyek dirancang tanpa kesiapan lahan, SDM, atau dokumen pendukung. Sistem pengadaan yang berbelit, birokrasi yang lamban, dan minimnya partisipasi publik memperparah situasi. Akibatnya, belanja modal tertunda, pembangunan fisik tidak berjalan, dan dana pun mengendap.
Dalam perspektif etika pelayanan publik, setiap rupiah yang tidak digunakan untuk kepentingan rakyat adalah bentuk pengabaian terhadap mandat demokrasi. Ketika dana mengendap, sekolah tidak dibangun, jalan tidak diperbaiki, dan layanan kesehatan tertunda. Ini bukan sekadar inefisiensi, tetapi bentuk pemborosan fiskal yang sistemik.
Lebih jauh, ketimpangan ini memperlebar kesenjangan antar wilayah. Daerah dengan kapasitas eksekusi rendah akan terus tertinggal, sementara daerah yang mampu menyerap anggaran akan melaju. Ini adalah bentuk ketidakadilan fiskal yang harus segera diatasi.
Solusi teknis seperti percepatan transfer dana memang penting, tetapi tidak cukup. Kita membutuhkan reformasi perencanaan anggaran berbasis kebutuhan riil masyarakat, digitalisasi sistem pelaporan, dan penguatan kapasitas SDM daerah. Partisipasi publik juga harus diperluas. Musrenbang dan forum warga bukan sekadar formalitas, tetapi ruang deliberatif untuk memastikan anggaran mencerminkan aspirasi rakyat.
Dana publik bukan milik birokrasi, melainkan amanah dari rakyat. Ketika dana mengendap, pembangunan tertunda, dan kepercayaan publik pun tergerus. Maka, reformasi fiskal bukan hanya soal efisiensi, tetapi soal keadilan, etika, dan keberpihakan.
Jadi, solusi terbaik lahir dari kolaborasi antara negara dan warga. Dana yang bergerak adalah pembangunan yang hidup. Dan pembangunan yang hidup adalah tanda bahwa negara hadir untuk rakyatnya.*
Komentar