Langsung ke konten utama

Menghidupkan Kembali Dana "Tidur" APBD

 

Foto istimewa
Oleh Silahudin

Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung

BELAKANGAN ini, isu dana Pemerintah Daerah (Pemda) yang "tidur" di bank, seperti yang disoroti oleh Menkeu Purbaya, bukanlah sekadar anomali musiman, melainkan manifestasi kronis dari disfungsi fundamental dalam arsitektur desentralisasi fiskal kita.

Angka triliunan rupiah yang mengendap, jauh dari siklus perputaran ekonomi daerah telah menjadi bukti empiris bahwa fungsi alokasi, dan belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum berjalan secara optimal dan fungsional.

Kritik dari pusat seringkali dibalas dengan pembelaan diri, yang argumennya cenderung bersifat teknis-prosedural, seperti lambatnya proses lelang, kesulitan regulasi pengadaan barang/jasa, atau keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di daerah.

Kendati valid, pembelaan ini hanya menyentuh epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan/realisasi) masalah, bukan ontologi (hakikat) masalah yang sebenarnya. Hakikatnya adalah adanya rasa aman yang semu di daerah, di mana kas besar di bank dianggap sebagai indikator stabilitas, alih-alih sebagai dana publik yang harus segera bertransformasi menjadi layanan dan stimulus ekonomi riil.

Dana APBD, terutama yang berasal dari Transfer ke Daerah (TKD) atau Dana Alokasi Khusus (DAK), merupakan darah segar bagi pertumbuhan ekonomi lokal. Ketika dana ini 'parkir' atau 'tidur' dalam bentuk giro atau deposito, dampak multiplikatornya (multiplier effect) hilang. Proyek pembangunan infrastruktur yang tertunda, bantuan sosial yang tersendat, atau belanja modal yang minim menguap menjadi potensi pertumbuhan yang tidak terealisasi. Ini adalah kerugian ganda, yaitu pertumbuhan PDB terhambat, dan kualitas layanan publik stagnan.

Analisis empiris menunjukkan pola yang berulang, yaitu penyerapan anggaran yang menumpuk di kuartal keempat (Q4). Fenomena ini, yang dikenal sebagai budget seasonality, menunjukkan adanya ketakutan birokrasi (fear of spending) dan kegagapan perencanaan di awal tahun. Pemda sering menunggu kepastian regulasi atau prosedur, padahal ketepatan waktu belanja sangat krusial, terutama belanja modal yang membutuhkan proses panjang. Ketidakmampuan memitigasi risiko birokrasi inilah yang membuat dana menumpuk.

Oleh karena itu, untuk mencapai fungsionalitas sejati, paradigma harus diubah. Dana mengendap seharusnya tidak dilihat hanya sebagai masalah teknis, tetapi sebagai kegagalan kepemimpinan fiskal. Kepala daerah harus berani mendesain program yang ready-to-execute sejak awal tahun, didukung oleh aparatur yang kompeten dan berintegritas.

Di sisi lain, Pemerintah Pusat juga perlu merefleksi diri. Terlalu banyak regulasi yang tumpang-tindih atau perubahan regulasi di tengah jalan, justru menjadi sumber clogging (penyumbatan) di daerah. Reformasi regulasi TKD harus memastikan bahwa dana transfer memiliki fleksibilitas yang memadai tanpa mengorbankan akuntabilitas.

Sejalan dengan itu, solusi tidak bisa hanya sebatas ancaman penalti atau penarikan dana. Perlu ada insentif yang kuat (misalnya, reward fiskal bagi daerah dengan penyerapan belanja modal tertinggi dan berkualitas), dan asistensi teknis terstruktur (misalnya, pelatihan manajemen kas dan percepatan lelang). Fungsionalitas berarti dana bergerak sesuai irama kebutuhan daerah, bukan irama birokrasi.

Mendagri dan Menkeu harus menyatukan langkah. Mendagri berfokus pada kapasitas kelembagaan, dan politik anggaran daerah, sementara Menkeu pada mekanisme transfer dan insentif/disinsentif fiskal. Sinergi ini akan menjadi aksiologi (nilai guna) yang sesungguhnya.

Dengan demikian, dana Pemda harus menjadi dinamo pembangunan, bukan bantalan likuiditas bank. Ketika Pemda mampu merencanakan, membelanjakan, dan mempertanggungjawabkan anggarannya secara cepat dan tepat, barulah desentralisasi fiskal mencapai tujuan awalnya, yaitu peningkatan kesejahteraan, dan pelayanan publik di daerah. Sebaliknya, jika tidak, isu dana "tidur" akan terus menjadi ironi fiskal yang menghambat kemajuan bangsa. Dana harus bangun, bergerak, dan menghasilkan.*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hegemoni Ekologis

Oleh Silahudin MENJUAL HARAPAN -  RETORITKA pembangunan berkelanjutan, dan jargon hijau tampak kian populer di ruang-ruang kebijakan, akan tetapi, di balik itu juga tersembunyi satu paradoks besar, yaitu alam terus mengalami kerusakan struktural, walau keberlanjutannya digembar-gemborkan.  Pergulatan hidup kita, dalam realitasnya dikonstruksi oleh bahasa, dan narasi yang seolah peduli terhadap lingkungan, namun, secara praksis terus-menerus melegitimasi eksploitasi. Pada titik simpul inilah, letak hegemoni ekologis, bukan hanya dominasi atas alam, tetapi juga dominasi atas cara berpikir tentang alam. Memang, hegemonis ekologis bekerja secara halus melalui wacana yang kita anggap netral, seperti istilah "pemanfaatan sumber daya", "optimalisasi kawasan", atau "efisiensi energi", dan lain sejenisnya. Dalam tataran kerangka tersebut, alam dikonstruksi sebagai objek pasif yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Kepentingan ekonomi diselubungi bahasa sa...

Fiorentina Vs Verona, Udinese Vs Napoli, dan Milan Imbang Lawan Sassuolo

  MENJUAL HARAPAN - Tuan rumah Fieorentina alami kekalahan dari Verona dengan skor gol 1-2 pada pekan ke-15. Fiorentina berada di zona degradasi dengan koleksi 6 poin, sedangkan Verona berada di urutan ke-18 dengan koleksi 12 poin pada klasemenn sementara Serie A pekan kelima belas. Adapun pada pertandingan lainnya, Udinese mengalahkan Napoli dengan skor gol 1-0. Gol semata wayang Udinese dicetak Jurgen Ekkelenkamp, dan kini Udinese berada di urutan ke-10 dengan 21 poin, sementara Napoli sendiri masih bertengger di papan atas urutan ke-3 dengan koleksi 31 poin pada klasemen sementara Serie A pekan ke-15. Sedangakn, Milan menjamu Sassuolo berakhir dengan skor gol 2-2. Masing-masing dua gol itu, AC Milan terlebih dahulu kecolongan gawangnya pada menit ke-13 lewat tendangan Ismael Kone. Namun, tuan rumah AC Milan berhasil menyamakan kedudukan gol 1-1 pada menit ke-34 lewat tusukan Devide Bartesaghi. Selanjutny,a pada menit ke-47, tuan rumah AC Milan berhasil unggul lebih dahulu yang d...

Tata Cara dan Tahapan RPJPD, RPJMD, dan RKPD dalam Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia: Kajian Normatif dan Partisipatif

Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN - PERENCANAAN pembangunan daerah merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui tata kelola pemerintahan yang demokratis, efisien, dan berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, sistem ini diatur secara normatif melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diperinci dalam Permendagri No. 86 Tahun 2017. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah terdiri atas tiga dokumen utama: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Ketiganya disusun secara berjenjang, partisipatif, dan berorientasi hasil (UU No. 23/2014, Pasal 258). RPJPD merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 20 tahun. Ia berfungsi sebagai arah strategis pembangunan daerah yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPD d...