Ilustrasi politisi sedang pidato politik |
MENJUAL HARAPAN - Demokrasi hari ini tidak lagi berjalan di jalur yang datar dan terprediksi. Ia bergerak, berbelok, dan kadang bergejolak. Di tengah era yang ditandai oleh keterbukaan informasi, tekanan elektoral, dan tuntutan partisipasi publik yang semakin tinggi, politik tidak cukup dijalankan dengan kalkulasi. Ia harus dijalankan dengan refleksi. Artikel ini mengajak wakil rakyat untuk menjadikan refleksi sebagai bagian dari praktik politik, agar demokrasi tidak hanya berjalan, tetapi juga bernapas dan bermakna.
Refleksi politik bukanlah kemewahan intelektual, melainkan kebutuhan etis. Ketika keputusan diambil tanpa refleksi, maka politik kehilangan arah. Max Weber (1919) menegaskan bahwa “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan hasrat kekuasaan.” Maka, wakil rakyat harus mampu berhenti sejenak di tengah dinamika, untuk bertanya: apakah keputusan ini berpihak? Apakah ia berdampak?
Fungsi-fungsi dewan, yaitu fungsi legislatif, penganggaran, dan pengawasan harus dijalankan dengan kesadaran bahwa setiap fungsi adalah ruang refleksi. Legislasi bukan hanya soal menyusun pasal, tetapi soal menyusun harapan. Karenanya, legislasi yang berdampak lahir dari proses yang reflektif dan partisipatif. Maka, proses legislasi harus menjadi ruang dialog antara nilai dan kebutuhan publik.
Penganggaran juga merupakan ruang refleksi tentang prioritas. Ketika DPRD membahas APBD, maka pertanyaan reflektif harus hadir: siapa yang diuntungkan? Siapa yang terpinggirkan? Transparency International (2022) menekankan bahwa “Transparansi anggaran adalah indikator utama dari integritas kelembagaan.” Maka, penganggaran harus dijalankan dengan keberanian untuk berpihak pada yang paling lemah.
Pengawasan yang reflektif bukan hanya mencari kesalahan, tetapi mencari perbaikan. Hak interpelasi dan angket harus dijalankan dengan data, etika, dan keberpihakan. Robert Dahl (1989) menyatakan bahwa “Demokrasi membutuhkan pengawasan yang dijalankan dengan integritas, bukan dengan kepentingan.” Maka, pengawasan harus menjadi ruang pembelajaran, bukan ruang konflik.
Era demokrasi yang bergerak juga menuntut kemampuan untuk membaca zaman. Perubahan teknologi, dinamika sosial, dan tuntutan partisipasi publik menuntut wakil rakyat untuk terus belajar. Amartya Sen (1999) menyatakan bahwa “Kebebasan politik harus memperluas kemampuan publik untuk berpartisipasi.” Maka, refleksi politik harus menjawab pertanyaan zaman, bukan hanya mengulang kebiasaan.
Etika kelembagaan menjadi ruang refleksi yang paling mendasar. Di tengah godaan kekuasaan dan tekanan politik, wakil rakyat harus mampu menjaga integritas. Jimly Asshiddiqie (2006) menegaskan bahwa “Etika publik adalah jantung dari demokrasi yang sehat.” Maka, refleksi politik harus dimulai dari dalam: dari sikap, dari pilihan, dari keberanian untuk berkata tidak.
Reses dan kunjungan kerja bukan hanya ruang serap aspirasi, tetapi ruang refleksi sosial. Ketika wakil rakyat hadir di tengah masyarakat, ia harus mampu mendengar yang tidak terdengar, melihat yang tidak terlihat, dan merasakan yang tidak terucap. Demokrasi yang bernapas lahir dari perjumpaan yang reflektif antara wakil dan rakyat.
Refleksi juga harus hadir dalam dinamika internal DPRD. Fraksi, komisi, dan badan-badan legislatif harus menjadi ruang deliberatif yang menjunjung nilai. Ketika keputusan diambil secara terburu-buru, maka kelembagaan kehilangan makna. Wakil rakyat yang reflektif adalah mereka yang mampu membangun konsensus tanpa kehilangan prinsip.
Media dan masyarakat sipil adalah cermin reflektif yang tak pernah berhenti. Kritik, sorotan, dan evaluasi publik harus dijadikan bahan refleksi, bukan bahan defensif. Demokrasi yang sehat membutuhkan wakil rakyat yang terbuka terhadap koreksi, dan berani melakukan perbaikan.
Refleksi politik juga berarti menjawab janji. Ketika janji kampanye tidak diterjemahkan ke dalam kebijakan, maka kepercayaan publik menurun. Wakil rakyat yang reflektif adalah mereka yang menjadikan janji sebagai komitmen, bukan sekadar retorika. Konsistensi antara kata dan tindakan adalah hasil dari refleksi yang jujur.
Dengan demikian, di era demokrasi yang bergerak, refleksi bukanlah jeda, tetapi bagian dari gerak. Wakil rakyat yang reflektif adalah mereka yang mampu menjadikan setiap fungsi sebagai ruang nilai, setiap keputusan sebagai ruang keberpihakan, dan setiap kritik sebagai ruang pembelajaran. Demokrasi yang bernapas adalah demokrasi yang dijalankan dengan refleksi yang hidup. (S_267)
Komentar