MENJUAL HARAPAN - "Lihatlah," ujar Si Penonton, tangannya menunjuk ke panggung besar yang baru saja dibuka. "Para pemain sudah siap. Kostum mereka mewah, riasannya sempurna. Tampaknya drama ini akan dimulai dengan megah."
"Sebuah pementasan yang telah ditunggu-tunggu," balas Si Pengamat, matanya tajam mengamati setiap detail. "Mereka telah berlatih berbulan-bulan, setiap peran telah dipilih dengan cermat oleh Sang Sutradara."
Pementasan pun dimulai. Babak pertama berjalan lancar. Lampu sorot menyinari adegan-adegan penuh janji dan harapan. Penonton bersorak, tepuk tangan riuh memenuhi gedung. Sang Sutradara, yang berdiri di balik layar, tersenyum puas.
"Tentu saja," gumam Si Pengamat. "Ini adalah hasil dari skenario yang telah disusun bertahun-tahun. Sebuah tim yang solid, atau setidaknya begitulah yang tampak."
Tiba-tiba, di tengah babak kedua, musik berhenti. Cahaya meredup. Para penonton terdiam. Dari balik panggung, Sang Sutradara muncul dengan wajah serius. Dia membisikkan sesuatu kepada salah satu pemain utama.
"Apa yang terjadi?" tanya Si Penonton. "Apakah ada kesalahan pada dialognya?"
"Bukan," jawab Si Pengamat, matanya menyipit. "Dia mengganti pemain itu. Tanpa jeda, tanpa pemberitahuan. Karakter itu sekarang akan dimainkan oleh orang lain."
Pemain baru muncul, dengan gestur yang berbeda dan nada suara yang canggung. Drama berlanjut, tetapi iramanya terasa ganjil. Penonton mulai berbisik-bisik, bingung.
"Apakah ini untuk memperbaiki pertunjukan?" tanya Si Penonton, suaranya ragu.
"Begitulah katanya," jawab Si Pengamat. "Mungkin pemain sebelumnya tidak mampu menjiwai perannya. Atau mungkin, ada aktor lain yang merasa lebih pantas, dan berhasil meyakinkan Sang Sutradara."
Tak lama kemudian, di babak lain, hal serupa terjadi lagi. Pemain pengganti lainnya masuk, menciptakan lagi kebingungan di antara para pemain di atas panggung. Adegan yang seharusnya menyentuh hati kini terasa hambar.
"Apa yang sebenarnya Sang Sutradara cari?" Si Penonton bertanya, kini dengan nada frustrasi. "Apakah dia tidak yakin dengan pilihannya sendiri sejak awal? Mengapa tidak menunggu sampai pementasan selesai?"
Si Pengamat menarik napas panjang. "Ini bukan tentang menyempurnakan drama, teman. Ini tentang menyempurnakan tim. Mungkin pemain-pemain baru ini adalah titipan dari para patron, yang telah membiayai pementasan ini. Sang Sutradara harus membayar utang-utangnya."
"Jadi, kualitas pementasan tidak lagi menjadi prioritas utama?" tanya Si Penonton, kecewa.
"Prioritas utama adalah menjaga semua pihak tetap senang," jawab Si Pengamat sinis. "Menjaga agar panggung tetap hidup, meskipun skenarionya menjadi campur aduk. Pertunjukan yang sempurna hanya ada dalam bayangan, bukan dalam kenyataan."
Pementasan drama itu selesai. Para pemain yang tersisa membungkuk, menerima tepuk tangan yang tidak lagi riuh seperti di awal. Mereka tersenyum, tetapi mata mereka tampak lelah dan kosong. Mereka tidak lagi tahu apa yang mereka mainkan, atau mengapa mereka berada di sana.
Lalu kita bertanya-tanya, apakah tujuan pertunjukan ini memang untuk dinikmati, atau hanya sekadar untuk berlangsung? (Sutisna_267)
Komentar