Resuffle Kabinet Merah Putih (Foto hasil tangkapan layar dari presidenri.go.id) |
MENJUAL HARAPAN - Presiden Prabowo Subianto kembali mengguncang lanskap politik nasional dengan melakukan reshuffle Kabinet Merah Putih pada 8 September 2025. Lima kementerian strategis mengalami pergantian kepemimpinan, sementara satu kementerian baru, yaitu Haji dan Umrah - didirikan dan langsung diisi pejabat definitif.
Di balik seremoni pelantikan yang berlangsung khidmat di Istana Negara, tersimpan dinamika politik, kalkulasi teknokratik, dan harapan rakyat yang menumpuk. Pergantian ini bukan sekadar rotasi jabatan, melainkan refleksi dari evaluasi mendalam terhadap efektivitas pemerintahan dan respons terhadap tekanan sosial yang memuncak sejak demonstrasi besar Agustus lalu (Lihat: en.tempo.co, www.indonesia-investments.com). Salah satu pergantian paling mencolok adalah pencopotan Sri Mulyani Indrawati dari posisi Menteri Keuangan, digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, mantan Ketua Dewan Komisioner LPS (Lihat: en.tempo.co, en.antaranews.com). Sri Mulyani dikenal sebagai simbol stabilitas fiskal dan kredibilitas internasional. Namun, dalam konteks pemerintahan Prabowo yang lebih populis dan berorientasi pada ekspansi fiskal, pendekatan teknokratik Sri Mulyani tampaknya mulai dianggap kurang sejalan. Purbaya membawa latar belakang ekonomi makro dan stabilitas keuangan, namun tantangannya kini adalah menjaga kepercayaan pasar yang sempat terguncang pasca pengumuman reshuffle, ditandai dengan turunnya IHSG (Lihat: www.indonesia-investments.com en.tempo.co).
Di Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Budi Gunawan digantikan, meski penggantinya belum diumumkan secara resmi (Lihat: en.antaranews.com, nasional.kompas.com). Pergantian ini menimbulkan spekulasi tentang arah baru koordinasi keamanan nasional, terutama di tengah meningkatnya ketegangan sosial dan isu reformasi hukum. Bilamana benar posisi ini akan dirangkap oleh Menteri Pertahanan, maka akan terjadi konsolidasi kekuasaan yang signifikan di sektor keamanan. Peluangnya adalah efisiensi dan kesatuan komando, namun risikonya adalah sentralisasi yang berlebihan dan potensi konflik kepentingan.
Kementerian Pemuda dan Olahraga juga mengalami pergantian, dengan Dito Ariotedjo dicopot, meski penggantinya belum dilantik karena berada di luar kota (Lihat: nasional.kompas.com). Ketidakjelasan pengganti menunjukkan bahwa sektor ini belum menjadi prioritas utama, padahal pemuda adalah demografi strategis dalam pembangunan nasional. Tantangannya adalah mengembalikan kepercayaan generasi muda terhadap pemerintah, terutama dalam hal partisipasi dan representasi.
Di sektor koperasi, Budi Arie digantikan oleh Ferry Juliantono (Lihat: en.tempo.co, en.antaranews.com). Ferry membawa latar belakang ekonomi kerakyatan dan advokasi UMKM. Dalam konteks pemulihan ekonomi pasca pandemi dan gejolak harga pangan, koperasi menjadi instrumen vital untuk distribusi keadilan ekonomi. Peluangnya adalah memperkuat koperasi sebagai tulang punggung ekonomi lokal, namun tantangannya adalah birokrasi yang masih lamban dan minim inovasi digital.
Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) juga mengalami pergantian, dengan Abdul Kadir Karding digantikan oleh Mukhtarudin dari Partai Golkar (Lihat: en.tempo.co, en.antaranews.com). Migran adalah kelompok rentan yang sering terpinggirkan dalam kebijakan nasional. Mukhtarudin dihadapkan pada tugas berat, yaitu memperkuat perlindungan hukum, diplomasi bilateral, dan sistem pengaduan yang responsif. Jika berhasil, ini akan menjadi titik balik dalam pemenuhan hak-hak pekerja migran yang selama ini terabaikan.
Seiring dengan pergantian menteri, ada kementerian baru, yaitu Kementerian Haji dan Umrah, dengan Mochamad Irfan Yusuf sebagai menteri dan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai wakilnya (Lihat: en.tempo.co, en.tempo.co). Ini menandai institusionalisasi layanan ibadah haji yang selama ini tersebar di berbagai lembaga. Peluangnya adalah efisiensi dan peningkatan kualitas pelayanan, namun tantangannya adalah menghindari politisasi agama dan memastikan transparansi dalam pengelolaan dana haji.
Secara politik, reshuffle ini menunjukkan bahwa Prabowo mulai mengonsolidasikan kekuasaannya dan menjauh dari bayang-bayang pemerintahan Jokowi. Hal ini, bisa dibaca sebagai upaya Prabowo untuk membentuk kabinet yang lebih selaras dengan visi, dan gaya kepemimpinannya. Namun, transisi ini harus dijalankan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan instabilitas birokrasi dan konflik internal.
Dari sisi rakyat, reshuffle ini membuka peluang baru untuk perbaikan layanan publik, terutama di sektor keuangan, migran, dan koperasi. Akan tetapi, harapan ini harus dibarengi dengan akuntabilitas dan partisipasi publik yang lebih luas. Pemerintah perlu membuka ruang dialog dan evaluasi bersama masyarakat sipil agar kebijakan tidak hanya top-down, melainkan responsif terhadap kebutuhan riil warga.
Dengan demikian, reshuffle kabinet bukanlah akhir dari proses reformasi, melainkan awal dari babak baru. Para menteri baru harus membuktikan bahwa mereka bukan sekadar “putra terbaik bangsa” secara simbolik, melainkan mampu menjawab tantangan zaman dengan kerja nyata.
Dalam konteks demokrasi yang sedang diuji, rakyat menunggu bukti, bukan janji. Dan di sinilah letak ujian sejati dari reshuffle ini, apakah ia mampu menjadi momentum perbaikan kehidupan rakyat, atau hanya sekadar manuver politik belaka. (Silahudin, Pemerhati Sosial Politik)
Komentar