“Bahwa setiap hak adalah tanggung jawab, dan setiap kewajiban adalah ruang keberpihakan. Demokrasi yang bernapas lahir dari wakil rakyat yang sadar akan makna konstitusionalnya”
MENJUAL HARAPAN - Demokrasi yang bernapas bukanlah demokrasi yang hanya hidup dalam prosedur, melainkan demokrasi yang dijalankan dengan kesadaran, keberpihakan, dan refleksi. Dalam konteks kelembagaan DPRD, menjaga demokrasi tetap bernapas berarti menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang, etis, dan berdampak. Artikel menyelami untuk memahami bahwa setiap hak adalah tanggung jawab, dan setiap kewajiban adalah ruang keberanian.
Hak DPRD, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, mencakup hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Hak ini memberi kekuatan kepada DPRD untuk mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Namun, kekuatan ini bukan untuk dominasi, melainkan untuk koreksi. Seperti dikemukakan oleh Saldi Isra (2017), “Hak legislatif harus dijalankan dengan keberanian dan dasar etis, bukan sekadar alat tekanan politik.” Maka, hak bukan hanya soal prosedur, tetapi soal keberanian moral.
Karenanya, anggota DPRD untuk melihat hak dan kewajiban sebagai satu kesatuan. Ketika hak dijalankan tanpa kesadaran akan kewajiban, maka demokrasi menjadi timpang. Ketika kewajiban dijalankan tanpa keberanian menggunakan hak, maka fungsi representatif menjadi lemah. Demokrasi yang bernapas membutuhkan keseimbangan antara keberanian dan tanggung jawab.
Hak bertanya dan menyampaikan pendapat harus dijalankan dengan kedalaman analisis dan keberpihakan sosial. Pertanyaan yang baik bukan hanya menggugah, tetapi juga membuka ruang perbaikan. Kewajiban untuk mendalami isu, mendengar konstituen, dan menyusun argumen menjadi bagian dari etika legislatif. Dalam kata-kata Amartya Sen (1999), “Freedom is not only the absence of constraints, but the presence of capabilities.” Maka, hak dan kewajiban harus memperluas kemampuan publik untuk berpartisipasi.
Kewajiban menyerap aspirasi masyarakat sering kali terjebak dalam rutinitas reses. Padahal, reses seharusnya menjadi ruang deliberatif antara wakil rakyat dan warga. Robert Dahl (1989) menyatakan bahwa “Partisipasi yang bermakna adalah syarat utama dari demokrasi yang sehat.” Maka, kewajiban ini harus dijalankan dengan metode partisipatif seperti forum warga, survei kebijakan, dan pelibatan komunitas lokal.
Hak keuangan dan protokoler juga harus dijalankan dalam bingkai transparansi. Ketika hak ini digunakan tanpa pelaporan publik, maka muncul persepsi negatif terhadap DPRD. Kewajiban untuk menyampaikan laporan kinerja dan penggunaan anggaran menjadi bagian dari akuntabilitas kelembagaan. Demokrasi yang sehat membutuhkan transparansi sebagai napas dari kepercayaan publik.
Kewajiban menjaga etika dan integritas menjadi tantangan tersendiri. Dalam banyak kasus, konflik kepentingan, korupsi, dan pelanggaran etika menjadi sorotan publik terhadap DPRD. Oleh karena itu, penguatan sistem pelaporan publik, transparansi aset, dan pelatihan etika politik menjadi langkah penting untuk menjaga kredibilitas kelembagaan. Etika bukan hanya soal perilaku, tetapi soal keberanian untuk berubah.
Hak legislasi juga harus dijalankan dengan substansi. Ketika DPRD mengusulkan rancangan Perda, maka kewajiban untuk menyusun naskah akademik, melakukan harmonisasi, dan melibatkan publik menjadi bagian dari proses legislasi yang bermakna. Legislasi yang baik bukan hanya soal prosedur, tetapi soal substansi dan keberanian untuk berpihak pada keadilan sosial.
Kewajiban untuk menyampaikan laporan kinerja tahunan menjadi ruang refleksi kelembagaan. Ketika laporan disusun dengan jujur dan komunikatif, maka publik dapat menilai dan memberikan masukan. Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang evaluasi yang terbuka. Hak untuk membela diri juga harus dijalankan dengan etika, bukan sebagai alat untuk menghindari tanggung jawab.
Hak imunitas anggota DPRD adalah perlindungan terhadap fungsi representatif. Namun, hak ini tidak boleh digunakan untuk melindungi pelanggaran hukum. Kewajiban untuk menjaga marwah kelembagaan dan tidak menyalahgunakan hak menjadi bagian dari etika legislatif. Demokrasi yang bernapas adalah demokrasi yang dijalankan dengan kesadaran penuh akan batas dan tanggung jawab.
Menekankan pentingnya kolektivitas dalam menjalankan hak dan kewajiban. Fraksi, komisi, dan badan-badan DPRD harus menjadi ruang deliberatif yang menjunjung nilai. Ketika keputusan diambil secara terbuka dan berdasarkan data, maka hak dan kewajiban menjadi instrumen perubahan sosial.
Dengan demikian, akhirnya, menjaga demokrasi tetap bernapas adalah tentang menjadikan DPRD sebagai ruang etis. Hak dan kewajiban bukan hanya soal regulasi, tetapi soal nilai. Ketika keduanya dijalankan secara reflektif, maka DPRD tidak hanya menjalankan fungsi, tetapi menghidupkan harapan. Demokrasi yang bernapas adalah demokrasi yang dijalankan dengan nurani, refleksi, dan komitmen terhadap publik. (S_267)
Komentar