MENJUAL HARAPAN - Demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan; ia merupakan cara hidup yang menuntut keterlibatan, keberpihakan, dan keberanian untuk berubah. Di tengah tantangan zaman yang terus bergerak, demokrasi lokal harus mampu bernapas, menghidupi nilai-nilai etis, mendengar suara publik, dan menghasilkan kebijakan yang bermakna. Artikel ini mengajak kita untuk membangun demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga reflektif dan berdampak.
Demokrasi yang bernapas adalah demokrasi yang dijalankan dengan kesadaran. Tidak cukup hadir dalam pemilu lima tahunan, melainkan harus hadir dalam setiap keputusan kelembagaan. Amartya Sen (1999) menyatakan bahwa “Democracy is not just about voting, but about public reasoning.” Maka, DPRD sebagai jantung demokrasi lokal harus menjadi ruang dialog, bukan sekadar ruang formalitas.
Demokrasi pun mesti bergerak yang mampu beradaptasi. Di tengah perubahan teknologi, tuntutan transparansi, dan dinamika sosial, DPRD harus menjadi lembaga yang belajar. Robert Dahl (1989) menegaskan bahwa “Democracy must be open to change, or it risks becoming irrelevant.” Maka, fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan harus dijalankan dengan keberanian untuk memperbarui cara kerja dan cara berpikir.
Demokrasi juga harus bermakna, dalam arti demokrasi yang dirasakan oleh publik. Ketika DPRD menyusun Perda, menetapkan anggaran, dan mengawasi eksekutif, maka dampaknya harus nyata di kehidupan masyarakat. Oleh karena, legislasi yang baik bukan hanya soal prosedur, tetapi soal substansi dan keberpihakan. Maka, DPRD harus menjadikan setiap fungsi sebagai ruang keberpihakan sosial.
Fungsi legislasi harus dijalankan dengan partisipasi. Ketika publik dilibatkan dalam penyusunan Perda, maka demokrasi menjadi ruang bersama. Oleh karena partisipasi publik merupakan syarat utama dari legitimasi kelembagaan. Jadi, DPRD harus membuka ruang konsultasi, forum warga, dan pelibatan komunitas dalam proses legislasi.
Selain fungsi legislasi, dalam penganggaran juga mesti menjadi ruang keberpihakan yang paling konkret. Setiap angka dalam APBD mencerminkan nilai politik. Wakil rakyat harus mampu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Transparency International (2022) menyatakan bahwa “Integritas anggaran adalah indikator utama dari demokrasi yang sehat.” Maka, penganggaran harus dijalankan dengan transparansi dan keberanian.
Dalam fungsi pengawasan juga harus bermakna. Artinya, pengawasan yang menghasilkan perbaikan. Hak interpelasi dan angket harus dijalankan dengan data, refleksi, dan keberpihakan. Max Weber (1919) menyatakan bahwa “Pengawasan yang etis adalah pengawasan yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, DPRD harus menjadikan pengawasan sebagai ruang pembelajaran kelembagaan.
Dengan demikian, demokrasi bernapas dalam arti bahwa demokrasi yang mendengar. Reses dan kunjungan kerja bukan sekadar rutinitas, melainkan ruang perjumpaan antara wakil dan rakyat. Ketika DPRD hadir di tengah masyarakat, maka ia harus mendengar yang tidak terdengar, melihat yang tidak terlihat, dan menjawab dengan kebijakan yang berpihak.
Demokrasi bergerak menuntut kemampuan untuk berkolaborasi. Fraksi, komisi, dan badan-badan DPRD harus menjadi ruang deliberatif yang menjunjung nilai. Ketika keputusan diambil secara kolektif dan reflektif, maka kelembagaan menjadi ruang transformasi, bukan sekadar ruang kompromi.
Demokrasi yang bermakna juga berarti demokrasi yang terbuka terhadap evaluasi. Media, masyarakat sipil, dan pemilih adalah aktor yang terus menilai kinerja DPRD. Wakil rakyat harus mampu menjawab kritik dengan data, refleksi, dan perbaikan. Demokrasi yang sehat membutuhkan wakil rakyat yang terbuka terhadap koreksi.
Jadi, etika kelembagaan merupakan napas dari demokrasi yang bermakna. Di tengah tekanan politik dan godaan kekuasaan, DPRD harus mampu menjaga integritas. Oleh karena, Jimly Asshiddiqie (2006) menegaskan bahwa “Etika publik bukan pelengkap, tetapi fondasi dari demokrasi yang hidup.” Maka, etika harus dijalankan sebagai sikap, bukan sekadar aturan.
Demokrasi yang bernapas, bergerak, dan bermakna merupakan demokrasi yang dijalankan dengan refleksi. Wakil rakyat harus mampu menjadikan setiap fungsi sebagai ruang nilai, setiap keputusan sebagai ruang keberpihakan, dan setiap kritik sebagai ruang pembelajaran. Ketika demokrasi dijalankan dengan nurani, maka ia tidak hanya hidup, tetapi juga menghidupkan.
Itu sebabnya, membangun demokrasi yang bernapas, bergerak, dan bermakna menjadi tentang menjadikan DPRD sebagai ruang harapan. Ketika fungsi kelembagaan dijalankan dengan keberanian, maka demokrasi lokal tidak hanya dijalankan, tetapi dihidupkan. Demokrasi yang hidup adalah demokrasi yang dirasakan. (Sutisna_267)
Komentar