MENJUAL HARAPAN - Di sebuah negeri yang dibangun dari suara-suara, berdirilah sebuah menara gading. Menara itu tinggi, berlapis marmer dingin, dan dijaga oleh para penjaga yang mengenakan jas rapi dan bicara dengan angka. Di dalamnya tinggal seorang pejabat yang baru saja menggantikan penjaga lama gerbang keuangan negeri. Ia datang dengan senyum yang dipoles, dan telinga yang hanya mendengar gema dari dalam menara.
Suatu pagi, dari lembah di bawah menara, terdengar suara gemuruh. Rakyat berkumpul, membawa 17 tuntutan dan 8 harapan. Mereka tidak berteriak, mereka menyanyikan tuntutan itu dalam nada yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Suara mereka tidak keras, tapi dalam. Tidak marah, tapi bermakna. Mereka tidak meminta emas, hanya keadilan. Tidak menuntut istana, hanya ruang untuk hidup dengan bermartabat.
Pejabat itu mendengar suara itu, tapi ia tidak turun. Ia membuka jendela menara, melihat ke bawah, dan berkata, “Itu hanya suara kecil. Tidak mewakili semua.” Ia menutup jendela, lalu menulis laporan bahwa negeri ini tenang, stabil, dan rakyatnya puas. Ia tidak tahu bahwa suara kecil itu adalah akar dari pohon yang menopang negeri. Ia tidak tahu bahwa suara kecil itu adalah gema dari luka yang belum sembuh.
Di pasar, para petani berhenti menanam karena tanah mereka diambil. Di sekolah, anak-anak belajar tentang angka tapi tidak tentang hak. Di rumah-rumah sempit, ibu-ibu menanak harapan dengan api yang hampir padam. Tapi di menara, pejabat itu memandangi grafik yang naik, dan mengira itu tanda kemajuan. Ia tidak melihat bahwa grafik itu dibangun dari tangisan yang tidak terdengar.
Seorang anak muda dari lembah mencoba naik ke menara. Ia membawa selembar kertas berisi tuntutan rakyat. Tapi penjaga menara berkata, “Kami hanya menerima proposal, bukan perasaan.” Anak muda itu turun, lalu menulis cerita. Cerita itu menyebar, menjadi lagu, menjadi mural, menjadi panggung. Tapi pejabat tetap berkata, “Itu hanya ekspresi, bukan data.”
Di suatu malam, angin membawa suara rakyat ke jendela menara. Pejabat itu terbangun, mendengar bisikan: “Kami bukan kecil. Kami hanya tidak kau lihat.” Ia menggigil, tapi tidak turun. Ia memanggil ahli statistik, meminta angka yang bisa membuktikan bahwa suara itu tidak signifikan. Ia lupa bahwa makna tidak selalu bisa diukur.
Di lembah, rakyat tidak berhenti bernyanyi. Mereka menanam kembali harapan, membangun sekolah dari bambu, dan menulis ulang sejarah mereka. Mereka tahu bahwa menara tidak akan mendengar, tapi mereka percaya bahwa bumi akan. Mereka tidak menunggu pejabat turun, mereka membangun tangga sendiri—dari solidaritas, dari cerita, dari luka yang dijahit bersama.
Pejabat itu, dari menara, melihat tangga itu tumbuh. Ia merasa terganggu, bukan karena suara rakyat, tapi karena narasi yang tidak bisa ia kendalikan. Ia mencoba menyederhanakan, mengecilkan, menertawakan. Tapi suara itu tidak bisa lagi dibungkam. Ia bukan suara kecil, ia adalah gema dari masa depan.
Menara itu tidak runtuh. Tapi ia menjadi sunyi. Pejabat itu tetap di sana, dikelilingi angka, tapi kehilangan arah. Sementara di bawah, rakyat berjalan bersama, tidak menunggu izin, tidak meminta validasi. Mereka tahu bahwa suara mereka adalah kompas, bukan gangguan.
Dan negeri itu, perlahan, mulai berubah. Bukan dari atas, tapi dari akar. Bukan dari pejabat yang tidak berpikir dan berhati, tapi dari rakyat yang tidak berhenti berharap. (S_267)
Komentar