Langsung ke konten utama

Sishankamrata dan Geopolitik



MENJUAL HARAPAN - Dalam Sidang Tahunan MPR 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia “menegakkan kedaulatan di panggung dunia” dengan bergabung dalam BRICS, memperkuat diplomasi internasional, mendukung Palestina, dan sekaligus memperluas struktur militer dengan penambahan kodam, pangkalan laut, pasukan udara, hingga unit pasukan khusus.

Pidato tersebut, memperlihatkan sebuah narasi ganda, yaitu: negara hadir dalam diplomasi global, dan juga menyiapkan pertahanan domestik yang lebih kuat. Dalam perspektif sosiologi politik, ini merupakan upaya negara membangun legitimasi eksternal (pengakuan internasional), dan legitimasi internal (perlindungan rakyat).

Bergabung dengan BRICS diproyeksikan sebagai strategi keluar dari dominasi Barat, sekaligus memperluas jejaring ekonomi-politik global. Hal ini selaras dengan pandangan Immanuel Wallerstein (2004) tentang sistem dunia, bahwa negara-negara semi-periferi, seperti Indonesia berupaya memperkuat posisinya, sehingga tidak terus dieksploitasi oleh negara pusat. Pertanyaan mendasarnya, apakah keanggotaan BRICS akan benar-benar memberi kedaulatan ekonomi-politik, atau sekadar menukar ketergantungan lama (pada Barat) dengan ketergantungan baru (pada Cina dan Rusia)?

Dari sisi masyarakat, diplomasi BRICS mungkin abstrak, tetapi implikasinya bisa nyata: harga pangan, energi, atau teknologi bisa dipengaruhi arah geopolitik ini.

Selain itu, dukungan Prabowo terhadap Palestina juga bernilai simbolik sekaligus politis. Simbolik, karena konsisten dengan amanat konstitusi untuk menentang penjajahan. Politis, karena memperkuat legitimasi pemerintah di mata rakyat yang mayoritas mendukung perjuangan Palestina. Edward Said (1978) menulis bahwa isu Palestina bukan sekadar konflik regional, melainkan simbol perlawanan global terhadap imperialisme.

Dalam perspektif masyarakat, dukungan ini memperkuat identitas kolektif: rakyat merasa negara berpihak pada aspirasi moral mereka. Namun, tantangan nyata adalah bagaimana konsistensi diplomasi ini dijalankan tanpa mengorbankan kepentingan ekonomi dan hubungan strategis dengan blok lain.

Di sisi pertahanan domestik, Prabowo menegaskan pembangunan enam komando daerah militer baru, 14 pangkalan laut, pasukan udara tambahan, serta brigade pasukan khusus. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menekankan hal ini sesuai doktrin Sishankamrata (Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta), yakni seluruh rakyat dan sumber daya dilibatkan dalam pertahanan.  Dalam perspektif sosiologi politik negara, hal ini memperlihatkan kecenderungan state militarization, di mana negara meneguhkan otoritasnya melalui perluasan kapasitas militer. Dari perspektif masyarakat, ini bisa bermakna ganda: rasa aman meningkat, tetapi juga potensi ketakutan jika militerisasi meluas ke ranah sipil.

Doktrin Sishankamrata sendiri merupakan bentuk “demokratisasi pertahanan”, karena menempatkan rakyat sebagai komponen utama pertahanan negara. Menurut Cottey, Edmunds, dan Forster (2002), partisipasi sipil dalam keamanan dapat memperkuat legitimasi militer, karena rakyat merasa memiliki peran langsung. Akan tetapi, apakah keterlibatan rakyat hanya bersifat simbolis, sekadar jargon dalam pidato, atau benar-benar disiapkan lewat pendidikan, infrastruktur, dan alokasi anggaran yang berpihak pada kesejahteraan mereka. Jika tidak, rakyat akan sekadar menjadi “retorika pertahanan” tanpa daya tawar nyata.

Dari perspektif rakyat, penguatan militer bisa dibaca dalam dua wajah. Wajah pertama, negara tampil sebagai pelindung, menjaga sumber daya dan kedaulatan dari ancaman luar, sehingga menumbuhkan rasa percaya. Wajah kedua, militerisasi berpotensi memunculkan democratic dilemma, yakni apakah penguatan militer ini akan tetap berada dalam koridor demokrasi atau justru memperbesar peran militer dalam urusan sipil (Stepan, 1988).

Dalam sejarah Indonesia, hubungan sipil-militer selalu sensitif, sehingga perlu kewaspadaan agar Sishankamrata tidak bergeser menjadi legitimasi untuk memperluas kontrol militer dalam politik domestik.

Dengan demikian, reflkesi substansi pertahanan dan geopolitik dalam pidato Prabowo memperlihatkan narasi bahwa kedaulatan adalah basis legitimasi negara. Negara ingin menunjukkan bahwa ia kuat di mata dunia (BRICS, Palestina), sekaligus mampu melindungi rakyat di dalam negeri (militerisasi dan Sishankamrata). Akan tetapi, legitimasi tersebut bersyarat, ia akan bertahan jika rakyat merasa bahwa penguatan pertahanan tidak mengorbankan kesejahteraan mereka. Jika anggaran besar untuk militer tidak diimbangi perbaikan layanan sosial, rakyat bisa merasakan paradoks: negara kuat di luar, tetapi rapuh di dalam.* (Silahudin)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengawasan Melekat (Waskat)

silahudin Ada ragam pengawasan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan, dan salah satunya adalah pengawasan melekat. Pengawasan melekat disingkat WASKAT merupakan salah satu kegiatan manajemen dalam mewujudkan terlaksananya tugas-tugas umum pemerintah (an) dan pembangunan. Waskat, sesungguhnya merupakan kegiatan manajemen sehari-hari yang dilakukan oleh pipinan atau atasan instandi pemerintah dalam setiap satuan unit kerjanya. Apa itu pengawasan melekat? dapat disimak pada video ini.

Menyelami Makna Peribahasa Sunda "Asa Peunggas Leungeun Katuhu"

   Ilustrasi Jenis Pakaian Adat Sunda (Foto tangkapan layer dari  https://learningsundanese.com/pakaian-adat-sunda-jenis-jenis-dan-makna-simbolik/ ) Menjual Harapan – Pergulatan pergaulan kehidupan taubahnya berdampingan antara baik dan buruk. Ragam situasi buruk perlu dihindari, karena berakibat buruk pada khususnya diri sendiri, bahkan dalam kehidupan masyarakat, dan negara. Menelusuri mencari sumber masalah yang menimbulkan situasi buruk tersebut dan menemukannya, berarti setidakanya setengah telah mengatasi situasi tersebut. Ada dalam peribahasa Sunda yang populer, yaitu “Asa peunggas leungeun katuhu” . Secara harfiah berarti “harapan di ujung tangan kanan”. Pesan filosofisnya peribahasa Sunda ini mengajarkan pentingnya mempunyai harapan dan tekad kuat dalam menghadapi berbagai situasi yang sulit. “Leungeun katuhu” (tangan kanan) disimbolkan atau dilambangkan sebagai kekuatan dan kemampuan untuk mencapai tujuan. Iman Budhi Santoso (2016: 601) menjelaskan makna dari ...

Konsistensi Cendekiawan “Memanusiakan” Peradaban

Ilustrasi gambar seorang cendekiawan (Foto hasil proses chat gpt) MENJUAL HARAPAN - Pergulatan berbagai kehidupan negara bangsa ini (nation state) , tampak nyaris tidak lepas dari sorotan kritisi cendekiawan.  Kaum cendekiawan terus bersuara dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti dalam sosial politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sejenisnya.  Sosok kehadiran cendekiawan di tengah pergulatan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tak dapat ditampik, niscaya selalu berkontributif.  Kehadirannya memiliki peran dan fungsi yang strategis, oleh karena kehadirannya senantiasa hirau dan peduli terhadap permasalahan-permasalahan bangsa demi menjunjung derajat kemanusiaan. Dalam bahasa lain, seseorang yang merasa berkepentingan untuk memikirkan secara rasional dan sepanjang pengetahuannya tentang bangaimana suatu masyarakat atau kemanusiaan pada umumnya bisa hidup lebih baik.  Oleh karena, setiap bangsa dan negara secara langsung atau tidak langsung memutuhkan peran...