MENJUAL HARAPAN - Dalam Sidang Tahunan MPR, 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto menekankan sebuah paradigma pembangunan yang berpijak pada pemulihan kedaulatan negara dan pemerataan ekonomi.
Pidato ini menandai upaya rekonstruksi peran negara sebagai aktor dominan dalam mengelola sumber daya strategis. Negara tidak sekadar regulator, tetapi juga pengendali utama dalam memastikan bahwa distribusi hasil pembangunan berpihak pada rakyat banyak.
Konsep yang disampaikan Presiden menunjukkan kembalinya semangat Pasal 33 UUD 1945, yaitu demokrasi ekonomi berbasis asas kekeluargaan, penguasaan negara atas cabang produksi penting, serta orientasi pada kemakmuran rakyat. Hal ini dapat dibaca sebagai koreksi terhadap liberalisasi ekonomi sebelumnya, di mana pasar bebas seringkali meninggalkan kelompok rentan dan memperlebar kesenjangan.
Dari perspektif pemerataan ekonomi, kebijakan Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, dan koperasi desa mencerminkan upaya redistribusi sumber daya secara langsung kepada rakyat kecil. Kebijakan ini bukan semata populisme, melainkan strategi jangka panjang membentuk modal manusia (human capital) yang sehat, terdidik, dan produktif.
Kritik terhadap fenomena “serakahnomics”, yakni praktik segelintir elite ekonomi yang memonopoli keuntungan dan merugikan rakyat, menunjukkan kesadaran politik bahwa oligarki ekonomi berpotensi melemahkan legitimasi negara. Dengan menempatkan negara sebagai pelindung rakyat kecil, Presiden berusaha memperkuat kontrak sosial antara negara dan warga.
Dalam kacamata sosiologi politik, pidato ini sekaligus memperlihatkan konvergensi antara populisme ekonomi dan nasionalisme politik. Negara hadir sebagai simbol proteksi terhadap ancaman eksternal (net outflow of national wealth, ketergantungan impor) maupun internal (korupsi, kartel pangan).
Kendati demikian, pertanyaannya, sejauh mana institusionalisasi kebijakan ini dapat bertahan melampaui periode pemerintahan? Apakah program redistribusi seperti MBG dan Sekolah Rakyat akan terintegrasi dalam sistem pembangunan jangka panjang, atau berhenti sebagai proyek simbolik politik?
Dari sisi ekonomi, pendekatan redistributif ini sejalan dengan teori keadilan distributif (distributive justice), di mana pemerataan dianggap kunci legitimasi sosial politik negara. Sementara dari sisi politik, ini memperkuat konsep state-centered development, yang mengembalikan kepercayaan publik bahwa negara mampu menjadi pelindung kepentingan rakyat, bukan sekadar fasilitator kapital.
Pidato Presiden Prabowo menegaskan bahwa negara hadir kembali di pusat arena politik ekonomi, dengan visi memulihkan kedaulatan ekonomi, memberantas kesenjangan, dan melawan serakahnomics. Dari perspektif sosiologi politik, langkah ini menguatkan legitimasi negara sebagai penjaga kontrak sosial; sementara dari perspektif pemerataan ekonomi, ia menjadi strategi jangka panjang membangun keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. (Silahudin)
Komentar