Langsung ke konten utama

Warga yang Dihilangkan



MENJUAL HARAPAN - Negara seharusnya dibangun dari warga, oleh warga, dan untuk warga. Namun dalam realitas praktiknya, warga justru sering kali dihilangkan—dari proses perumusan kebijakan, dari narasi pembangunan, dan dari ruang pengambilan keputusan. Mereka hadir secara fisik, tetapi absen secara politik.

Penghilangan warga bukan berarti mereka tak ada, tetapi mereka tidak  dianggap. Suara mereka tidak didengar, pengalaman mereka tak divalidasi, dan kebutuhan mereka tak dijadikan dasar. Negara berjalan tanpa bertanya, tanpa mendengar, tanpa melibatkan.

Dalam dialog komunitas, sering muncul ungkapan: “Kami hanya tahu kebijakan setelah diumumkan.” Ini bukan soal keterlambatan informasi, tetapi soal pengabaian sistemik. Warga tak dilibatkan sejak awal, hanya diminta menerima hasil.

Penghilangan warga juga terjadi dalam data. Mereka tak tercatat, tak terpetakan, dan tak terwakili. Statistik nasional sering kali mengabaikan kompleksitas lokal. Warga menjadi angka, bukan cerita. Data menjadi alat penghapusan.

Dalam refleksi filosofis, penghilangan warga adalah bentuk kekerasan epistemik. Pengetahuan mereka dianggap tak sah, pengalaman mereka dianggap tak ilmiah, dan suara mereka dianggap tak relevan. Negara memonopoli makna.

Warga juga dihilangkan dalam narasi sejarah. Perjuangan komunitas lokal, gerakan akar rumput, dan inisiatif warga tak masuk buku pelajaran. Sejarah ditulis dari atas, bukan dari bawah. Ingatan kolektif menjadi selektif.

Dalam sistem pelayanan publik, warga diposisikan sebagai penerima, bukan mitra. Mereka harus mengikuti prosedur, tunduk pada sistem, dan menerima keputusan. Tak ada ruang untuk negosiasi, tak ada ruang untuk dialog. Pelayanan menjadi instruksi.

Penghilangan warga juga terjadi dalam desain kebijakan. Program dirancang tanpa konsultasi, regulasi dibuat tanpa validasi, dan evaluasi dilakukan tanpa partisipasi. Kebijakan menjadi produk elite, bukan hasil deliberasi publik.

Dalam ruang politik, warga hanya hadir saat pemilu. Mereka dimobilisasi, dijanjikan, dan dijadikan target kampanye. Setelah itu, mereka kembali dihilangkan. Demokrasi menjadi ritual lima tahunan, bukan proses harian.

Penghilangan warga juga tampak dalam tata ruang. Kampung digusur, ruang publik diprivatisasi, dan komunitas dipindahkan. Pembangunan tak mengenal akar, tak menghargai sejarah, dan tak mengakui hak tinggal. Warga kehilangan ruang hidupnya.

Dalam sistem hukum, warga sering kali tak punya posisi. Mereka tak tahu haknya, tak punya akses pendampingan, dan tak diberi ruang bicara. Hukum menjadi alat negara, bukan alat warga. Keadilan menjadi milik segelintir.

Namun, penghilangan warga bukan akhir. Ia bisa dilawan dengan pengakuan, partisipasi, dan validasi. Warga harus dihadirkan kembali—dalam data, dalam narasi, dalam kebijakan. Negara harus dibangun dari bawah.

Dalam pendekatan visual, warga bisa dihadirkan melalui infografis, peta partisipatif, dan narasi ilustratif. Visual bukan hanya alat komunikasi, tetapi alat pengakuan. Wajah warga harus tampak dalam kebijakan.

Penghadiran warga juga harus masuk dalam kurikulum pendidikan. Anak-anak harus belajar tentang partisipasi, tentang hak warga, dan tentang demokrasi deliberatif. Pendidikan harus membentuk warga aktif, bukan hanya pelajar pasif.

Dan mungkin, negara yang adil adalah ketika warga bisa berkata: “Saya ada, saya didengar, dan saya menentukan.” Ketika mereka tak hanya menjadi objek, tetapi subjek. Ketika mereka tak hanya dilayani, tetapi dilibatkan.

Dalam konteks episode ini, merupakan ajakan untuk menghadirkan kembali warga dalam negara. Agar kebijakan tak lagi berjalan sendiri, agar pelayanan tak lagi bersifat sepihak, dan agar pembangunan tak lagi menghapus. Karena negara tanpa warga bukanlah negara—ia hanya sistem kosong. (Episode-8 dari Serial Refleksi Kemerdekaan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tata Cara dan Tahapan RPJPD, RPJMD, dan RKPD dalam Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia: Kajian Normatif dan Partisipatif

Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN - PERENCANAAN pembangunan daerah merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui tata kelola pemerintahan yang demokratis, efisien, dan berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, sistem ini diatur secara normatif melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diperinci dalam Permendagri No. 86 Tahun 2017. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah terdiri atas tiga dokumen utama: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Ketiganya disusun secara berjenjang, partisipatif, dan berorientasi hasil (UU No. 23/2014, Pasal 258). RPJPD merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 20 tahun. Ia berfungsi sebagai arah strategis pembangunan daerah yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPD d...

Persita Tangerang Gulingkan Trend Positif PSIM Yogyakarta

  MENJUAL HARAPAN - Pekan kedelapan BRI Super League 2025/2026, menjadi momen keberuntungan Persita Tangerang saat menjamu tim PSIM Yogyakarta yang berlangsung di Stadion Indomilk Arena, Tangerang, Jumat (17/10/2025). Pendekar Cisadane menggulingkan trend positif PSIM Yogyakarta dengan kemenangan 4-0. Eber Bessa menggolkan gol pembuka atas operan pemain setimnya Rayco Rodriguez   pada menit ke 23. K edudukan 1-0 ini tidak alami perubahan lagi hingga pertandingan turun minum. U sai istirahat, kedua kesebelasan kembali ke lapangan, tuan rumah Persita Tangerang yang sementara sudah unggul 1-0 atas PSIM Yogayarkta, tampak aksi-aksi serangannya terus menekan pertahanan tim lawan. S erangan demi serangan para pemain Pendekar Cisadane ini akhirnya kembali membobol gawang kiper PSIM pada meint ke-70 yang dicetak oleh Rayco Rodriguez . S udah unggul 2 gol, Persita Tangerang makin agresif melakukan serangan demi serangannya, kendati para pemain PSIM berusaha menghadangnya, namun hadanga...

Potret 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Antara Harapan dan Keraguan Publik

Sumber: setneg.go.id Oleh Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN - Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran telah menjadi panggung dinamis bagi eksperimen kebijakan, diplomasi global, dan pertarungan persepsi publik. Laporan INDEF bertajuk “Rapor Netizen” mengungkapkan lanskap digital yang penuh sorotan, kritik, dan harapan. Dari reshuffle kabinet hingga program makan bergizi gratis, netizen menjadi aktor penting dalam menilai efektivitas dan etika pemerintahan. Presiden Prabowo menunjukkan orientasi geopolitik yang berbeda dari pendahulunya. Hampir 70% kunjungannya adalah lawatan ke luar negeri, berbanding terbalik dengan Jokowi yang 75% kunjungannya fokus ke dalam negeri. Prabowo tampak ingin menegaskan posisi Indonesia sebagai pemain strategis di tiga benua: Asia, Eropa, dan Amerika. Namun, di dalam negeri, dinamika politik tak kalah intens. Tiga kali reshuffle kabinet dalam satu tahun, melibatkan 10 pejabat setingkat menteri, menjadikan Prabowo sebagai pr...