HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Sistem Publikasi yang Mengejar Angka, Bukan Substansi


MENJUAL HARAPAN - SERINGKALI terdengar keluh kesah, “kok kita yang menulis, kita yang harus membayar?” Itulah substansi yang dirasakan para penulis artikel ilmiah di jurnal. Memang, hal ini bukan sekadar masalah biaya, melainkan gejala dari sebuah sistem yang lebih besar dan bermasalah.

Perubahan model ekonomi jurnal, pada kenyataannya, tidak serta-merta meningkatkan kualitas. Justru sebaliknya, hal itu diperparah dengan logika kutipan yang mengerdilkan makna dan hanya mengejar angka, bukan substansi.

 Ketika Jurnal Menjadi Mesin Uang

Tampaknya roda zaman berputar, dan model bisnis penerbitan jurnal pun ikut berubah drastis. Kini, kita disuguhkan dengan pemandangan yang terbalik 180 derajat, penulis, alih-alih dibayar, justru diwajibkan membayar sejumlah biaya publikasi yang dikenal sebagai Article Processing Charges (APC). Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar, mengapa penulis sekarang harus merogoh kocek demi karyanya sendiri?

Pergeseran ini tidak datang tiba-tiba tanpa alasan. Munculnya era Open Access, secara langsung atau tidak, menjadi salah satu pemicu utama. Model tersebut memiliki tujuan agar karya ilmiah dapat diakses secara gratis oleh siapa pun, di mana pun, tanpa hambatan langganan yang mahal. Tujuannya sungguh mulia, mendemokratisasi ilmu pengetahuan. Akan tetapi, di balik itu, tersimpan konsekuensi finansial yang harus ditanggung. Jika pembaca tidak membayar, lalu dari mana biaya operasional jurnal berasal? Jawabannya ada pada penulis.

Biaya APC yang kini dibebankan bahkan bisa mencapai angka yang fantastis, berkisar antara 1.000 hingga 5.000 dollar AS, tergantung reputasi jurnal. Secara kritis, kondisi ini tidak hanya membebani penulis, melainkan juga menciptakan ketidakadilan, di mana kemampuan finansial menjadi penentu akses publikasi.

 Obsesi Angka dan Makna yang Terpinggirkan

Selain sistem publikasi yang mahal, masalah diperparah oleh obsesi metrik kuantitatif seperti h-index dan jumlah kutipan. Dalam ranah publikasi ilmiah, logika kutipan (citation) dan indeksasi menjadi mantra sakral yang menentukan bobot dan relevansi sebuah karya. Semakin banyak sebuah artikel dikutip, semakin tinggi pula nilai indeksnya, dan semakin diakui pula kualitasnya.

Memang, di permukaan, logika ini tampak rasional sebagai sebuah ide yang sering dikutip, berarti ide tersebut berpengaruh dan penting bagi komunitas ilmiah. Akan tetapi, bila kita menyelami lebih dalam, ketergantungan pada metrik itu menyimpan bahaya laten yang mengerdilkan makna kontekstual, dan kedalaman substansial dari sebuah tulisan.

Kutipan tidak selalu mencerminkan pengakuan positif. Sebuah karya bisa saja dikutip berkali-kali bukan karena kualitasnya yang gemilang, melainkan karena tulisan tersebut, mengandung data yang cacat, argumen yang keliru, atau bahkan metode yang dipertanyakan. Penulis lain mungkin mengutipnya untuk membantah, mengkritik, atau sekadar menjadikannya contoh dari kesalahan yang harus dihindari. Dalam kasus ini, jumlah kutipan yang tinggi justru menjadi indikasi kelemahan, bukan keunggulan.

Dengan demikian, ketergantungan pada jumlah kutipan, secara langsung atau tidak, mengabaikan relevansi sebuah karya di luar ranah akademis. Sebuah penelitian mungkin sangat penting bagi kebijakan publik, praktik industri, atau pemahaman masyarakat umum. Akan tetapi, karena audiensnya bukan sesama akademisi, jumlah kutipannya di jurnal ilmiah sangat mungkin tetap rendah. Misalnya, studi tentang dampak psikologis dari bencana alam yang diterbitkan di jurnal kedokteran, mungkin lebih banyak dibaca dan diterapkan oleh psikolog di lapangan ketimbang dikutip oleh peneliti lain. Logika kutipan gagal menangkap dampak nyata dari karya semacam itu.

Dampak Buruk bagi Ekosistem Riset Indonesia

Logika indeksasi yang cenderung berorientasi pada bahasa Inggris, dan jurnal-jurnal mainstream seolah-olah mengatakan bahwa "jika tidak dikutip secara internasional, maka karya tersebut tidak penting". Kondisi ini diperparah dengan dominasi jurnal berbahasa Inggris, dan penerbit raksasa yang menciptakan monopoli pengetahuan, menyingkirkan perspektif dari negara berkembang. Makna kontekstual sebuah karya menjadi terpinggirkan, seperti tulisan yang kaya akan nuansa kultural atau filosofis yang sulit diukur dengan metrik kutipan. Dampaknya bagi komunitas lokal bisa jadi sangat besar, tetapi terabaikan oleh sistem.

Ironisnya, di tengah kondisi ini, ada pihak yang paling diuntungkan, yaitu  perusahaan penerbit jurnal raksasa. Mereka menjadi entitas bisnis yang sangat menguntungkan, dengan margin keuntungan yang bahkan melebihi perusahaan teknologi ternama. Mereka mendapatkan karya berkualitas secara gratis dari penulis, meminta penulis membayar untuk publikasi, dan bahkan menjual kembali akses ke karya tersebut kepada institusi dalam bentuk langganan. Ini merupakan model bisnis yang sangat cerdas, namun sangat eksploitatif.

Lalu, bagaimana nasib peneliti Indonesia yang sebagian besar mengandalkan dana pemerintah atau institusi terbatas? Mereka kesulitan bersaing di arena publikasi global karena biaya APC yang mahal. Di sisi lain, kebijakan angka-angka (misalnya syarat kenaikan pangkat) mendorong peneliti untuk mengejar publikasi di jurnal berbayar, daripada fokus pada riset yang benar-benar berdampak bagi masyarakat.

 Kembali ke Esensi, Bukan Angka

Oleh karena itu, narasi bahwa penulis harus membayar agar ilmu pengetahuan terbuka perlu dikritisi. Kita tidak boleh terjebak dalam sesat pikir ini. Ada model alternatif yang lebih adil, misalnya dengan dukungan dari pemerintah, universitas, atau yayasan yang mendanai riset. Model ini dapat memastikan akses terbuka tanpa harus membebankan biaya publikasi kepada penulis.

Penting untuk diingat, logika kutipan dan indeksasi hanyalah salah satu alat, bukan tujuan akhir dari riset ilmiah. Tujuannya adalah untuk menghasilkan pemahaman yang lebih dalam, menyelesaikan masalah, dan berkontribusi pada kesejahteraan manusia. Jika sebuah alat justru merusak esensi dari tujuannya, maka alat tersebut harus dipertanyakan. Sudah saatnya kita kembali menempatkan esensi sebuah tulisan: kedalaman argumen, orisinalitas gagasan, kekuatan metodologi, dan signifikansi kontekstualnya. Penilaian terhadap karya ilmiah harus melibatkan evaluasi kualitatif yang komprehensif, tidak sekadar mengandalkan angka-angka. Seorang peneliti sejati adalah yang memberikan dampak nyata, bukan sekadar memiliki h-index tinggi.

Penulis merupakan ujung tombak kemajuan ilmu pengetahuan. Menghargai mereka bukan hanya dengan pengakuan, tetapi juga dengan imbalan yang layak, atau setidaknya tidak membebani mereka secara finansial. Jika kita gagal mengkritisi fenomena ini, kita hanya akan membiarkan dunia ilmiah bergerak menuju sistem yang tidak berkelanjutan, di mana ilmu pengetahuan menjadi komoditas, dan penulis hanyalah konsumen yang membayar.(Silahudin)

Tutup Iklan