Rekening Tidak Aktif, Pemblokiran Mengancam
![]() |
Kebijakan pemblokiran rekening tidak aktif (dormant) |
MENJUAL HARAPAN - Di tengah hiruk-pikuk digitalisasi keuangan, siapa sangka bahwa rekening yang tidak lagi disentuh bisa menjadi sumber kekacauan nasional. Kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh PPATK telah mengguncang jagat publik Indonesia. Pertanyaan mendasar, siapa yang berhak atas uang yang diam?
Sejak awal 2025, PPATK memblokir lebih dari 31 juta rekening yang tidak aktif selama lima tahun. Nilainya tak main-main: Rp6 triliun. “Kami bertindak untuk mencegah penyalahgunaan rekening oleh pelaku pidana,” ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana (lihat: msn.com).
Langkah tersebut, tentu tidak datang tanpa kontroversi. Banyak nasabah mengaku tidak menerima pemberitahuan, dan tiba-tiba mendapati rekening mereka dibekukan. Di media sosial, keluhan membanjir. “Saya hanya menabung untuk anak saya. Kenapa tiba-tiba diblokir?” tulis seorang pengguna X (dulu Twitter).
Memang, bank-bank besar seperti BNI mendukung kebijakan ini. “Rekening dormant berisiko disalahgunakan. Kami mendukung langkah PPATK sebagai bentuk perlindungan sistemik,” kata Direktur Utama BNI, Putrama Wahju Setyawan (lihat; banyumas.tribunnews.com).
Di balik niat baik, muncul pertanyaan etis dan hukum. Peneliti The PRAKARSA, Ari Wibowo, menyebut kebijakan ini sebagai “pelanggaran hak finansial warga negara” (lihat: finance.detik.com). Ia menegaskan bahwa status dormant tidak bisa dijadikan dasar hukum pemblokiran tanpa indikasi pidana.
Kritik pun datang dari sisi sosial. Ekonom Roby Rushandie menyoroti dampak pada kelompok rentan. “Lansia, pekerja informal, dan warga desa yang jarang bertransaksi berisiko terkena dampak. Ini bukan sekadar soal teknis, tapi soal keadilan,” ujarnya (lihat: finance.detik.com).
PPATK membantah bahwa mereka memblokir rekening yang tidak aktif selama tiga bulan. “Kriteria dormant ditetapkan oleh masing-masing bank. Kami hanya memproses rekening yang tidak aktif lima tahun lebih,” jelas Ivan (lihat: msn.com).
Kendati begitu, kebingungan tetap melanda publik. Perbedaan definisi dormant antar bank, minimnya sosialisasi, dan tidak adanya mekanisme notifikasi membuat kebijakan ini terasa sepihak. “Kami minta PPATK jelaskan ke publik secepatnya,” tegas Anggota DPR Hinca Pandjaitan (lihat: msn.com).
Pada sisi lain, kebijakan ini membuka diskusi penting tentang literasi keuangan. Banyak warga tidak tahu bahwa rekening yang tidak aktif bisa menjadi sasaran kejahatan. PPATK mencatat bahwa ribuan rekening dormant digunakan untuk judi online dan pencucian uang (lihat: jogja.suaramerdeka.com)
Mungkin ini saatnya kita bertanya: apakah sistem keuangan kita cukup inklusif dan transparan? Apakah warga desa yang menabung untuk cucunya harus paham regulasi PPATK? Atau justru sistem yang harus lebih manusiawi?
Kebijakan tersebut, bukan sekadar soal blokir rekening. Ia adalah cermin dari relasi antara negara, teknologi, dan warga. Di tengah semangat antikorupsi dan keamanan finansial, jangan sampai kita kehilangan sentuhan etis dan keberpihakan sosial. (Silahudin)