Langsung ke konten utama

PPATK Blokir Jutaan Rekening Dormant, Publik Terkejut dan Menuntut Transparansi



MENJUAL HARAPAN – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir sementara lebih dari 31 juta rekening bank yang dikategorikan sebagai dormant atau tidak aktif selama lebih dari lima tahun. Kebijakan ini sontak memicu kegaduhan publik, terutama karena banyak nasabah tidak menerima pemberitahuan sebelumnya.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi pencegahan tindak pidana pencucian uang. “Rekening dormant sangat rentan disalahgunakan oleh pelaku kejahatan. Kami bertindak untuk melindungi sistem keuangan dan masyarakat,” ujar Ivan dalam wawancara dengan Bisnis Indonesia (lihat: msn.com).

Menurut data PPATK, nilai total rekening yang diblokir mencapai Rp6 triliun. Namun, sejak Mei 2025, lebih dari 28 juta rekening telah diaktifkan kembali setelah proses verifikasi dokumen dan konfirmasi kepemilikan (lihat: msn.com).

Bank-bank besar seperti BNI dan BRI menyatakan dukungan terhadap kebijakan ini. Direktur Utama BNI, Putrama Wahju Setyawan, menyebut pemblokiran sebagai “langkah preventif yang sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dana nasabah” (lihat: banyumas.tribunnews.com).

Kendati demikian, kritik keras datang dari lembaga riset dan advokasi kebijakan publik The PRAKARSA. Peneliti Ari Wibowo menyebut kebijakan ini “melanggar hak konstitusional warga negara dan berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan” (lihat: finance.detik.com).

Ari juga menyoroti bahwa status dormant saja tidak cukup menjadi dasar hukum pemblokiran. “PPATK memang punya wewenang, tapi harus ada indikasi pidana yang jelas. Kalau tidak, ini bisa jadi bentuk penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya. (lihat: finance.detik.com).

Kelompok masyarakat rentan seperti lansia, pensiunan, dan pekerja informal disebut paling terdampak. “Mereka jarang bertransaksi karena keterbatasan infrastruktur. Pemblokiran ini menyulitkan mereka,” kata ekonom Roby Rushandie. ((lihat: finance.detik.com).

Menanggapi kritik tersebut, PPATK menegaskan bahwa pemblokiran bersifat sementara dan dana nasabah tetap aman. “Setelah verifikasi, rekening akan dibuka kembali. Kami tidak menyita dana,” ujar Ivan (lihat: msn.com).

Anggota Komisi III DPR, Hinca Pandjaitan, meminta PPATK segera memberikan penjelasan resmi kepada publik. “Kami akan panggil PPATK dalam rapat kerja. Publik berhak tahu latar belakang dan tujuan kebijakan ini,” katanya di Senayan (lihat: msn.com).

Sementara itu, OJK menyebut bahwa definisi rekening dormant berbeda-beda di tiap bank. BCA dan Mandiri menetapkan batas dormansi enam bulan, sedangkan PPATK memproses rekening yang tidak aktif selama lima tahun. (lihat: msn.com).

Kebijakan tersebut, menjadi pengingat penting bagi nasabah untuk rutin bertransaksi, dan memperbarui data rekening. Bank-bank juga diminta memperkuat sistem notifikasi agar nasabah tidak terkejut dengan pemblokiran mendadak. (S_267)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...