Pendidikan, Kemana Arahnya
MENJUAL HARAPAN - Pendidikan seharusnya menjadi cahaya peradaban. Ia adalah ruang pembebasan, tempat anak-anak belajar berpikir, merasakan, dan bermimpi. Akan tetapi, dalam realitas kenyataan hari ini, pendidikan justru menjadi lorong gelap yang membingungkan, tanpa arah, tanpa jiwa, dan tanpa keberpihakan.
Di ruang kelas yang sempit, di sekolah yang kekurangan guru, dan di desa yang tak tersentuh sinyal, pendidikan menjadi beban. Anak-anak belajar bukan karena ingin tahu, tetapi karena takut gagal. Guru mengajar bukan karena panggilan, tetapi karena tuntutan administratif. Sistem menekan, bukan membebaskan.
Kurikulum nasional terlalu seragam, terlalu teknokratis, dan terlalu jauh dari kehidupan nyata. Anak-anak di pegunungan belajar tentang kapal laut, anak-anak di pesisir belajar tentang salju. Konteks lokal diabaikan, pengalaman komunitas disingkirkan. Pendidikan menjadi abstraksi.
Dalam dialog komunitas, orang tua sering berkata: “Anak saya pintar, tapi tak tahu bagaimana hidup.” Ini bukan soal kecerdasan, tetapi soal relevansi. Pendidikan tak mengajarkan keberdayaan, tak mengasah empati, dan tak membangun keterhubungan dengan lingkungan.
Pendidikan juga kehilangan arah etik. Ia sibuk mengejar nilai, ranking, dan akreditasi, tetapi lupa membentuk karakter. Anak-anak diajarkan untuk bersaing, bukan berkolaborasi. Mereka belajar untuk menang, bukan untuk memahami. Etika menjadi pelengkap, bukan fondasi.
Guru, yang seharusnya menjadi pelita, justru dibebani oleh birokrasi. Mereka harus mengisi laporan, mengejar target, dan mengikuti instruksi. Kreativitas dibatasi, refleksi diabaikan. Guru menjadi operator sistem, bukan fasilitator kehidupan.
Pendidikan juga terseret dalam logika pasar. Sekolah menjadi bisnis, siswa menjadi pelanggan, dan ilmu menjadi komoditas. Lembaga pendidikan berlomba menjual program, bukan membangun makna. Pendidikan kehilangan ruhnya.
Dalam refleksi filosofis, pendidikan merupakan proses menjadi manusia. Ia bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal kesadaran, keberpihakan, dan keberanian. Namun, sistem kita terlalu sibuk dengan output, lupa pada proses. Pendidikan menjadi pabrik.
Teknologi pendidikan pun sering kali menjadi distraksi. Aplikasi dibuat, platform diluncurkan, tetapi tak menyentuh esensi. Anak-anak sibuk mengklik, bukan berpikir. Guru sibuk mengunggah, bukan berdialog. Digitalisasi menjadi ritual, bukan transformasi.
Pendidikan juga gagal merangkul keragaman. Bahasa daerah diabaikan, budaya lokal disingkirkan, dan pengetahuan komunitas dianggap tak ilmiah. Anak-anak diajarkan untuk meninggalkan akar, bukan merawatnya. Pendidikan menjadi alat penyeragaman.
Dalam sistem evaluasi, anak-anak dinilai dengan angka. Mereka dikotakkan, dibandingkan, dan diperingkatkan. Padahal, setiap anak punya cara belajar, cara berpikir, dan cara tumbuh yang berbeda. Evaluasi menjadi alat penindasan.
Pendidikan juga gagap terhadap masa depan. Ia tak mengajarkan adaptasi, tak membangun imajinasi, dan tak menyiapkan anak-anak menghadapi kompleksitas dunia. Mereka belajar masa lalu, tetapi tak tahu bagaimana merancang masa depan.
Akan tetapi, pendidikan bisa diubah. Ia bukan entitas tetap, tetapi ruang hidup. Ia bisa dibentuk ulang, disusun ulang, dan dimaknai ulang. Tapi perubahan itu harus dimulai dari bawah—dari suara guru, dari pengalaman siswa, dari konteks komunitas.
Di sana, belajar bukan hanya soal materi, tetapi soal makna. Modul bisa dirancang dari cerita warga, pelatihan bisa berbasis refleksi, dan kurikulum bisa lahir dari kebutuhan lokal.
Dalam pendekatan visual, pendidikan bisa dijelaskan dengan narasi, metafora, dan simbol. Ia bisa menjadi cerita tentang tumbuh, bukan tentang lulus. Ia bisa menjadi ruang bermain, bukan ruang ujian. Pendidikan harus menyentuh hati.
Dan mungkin, pendidikan yang bermakna adalah ketika anak-anak bisa berkata: “Saya belajar untuk hidup, bukan hanya untuk bekerja.” Ketika mereka bisa berpikir kritis, merasakan empati, dan membangun komunitas. Pendidikan harus membebaskan.
Episode ini merupakan ajakan untuk merenung dan menyusun ulang arah pendidikan. Agar ia kembali menjadi ruang harapan, ruang keberpihakan, dan ruang kemanusiaan. Karena pendidikan tanpa arah harus dipandu kembali—oleh nilai, oleh warga, dan oleh keberanian. (Episode-5 dari Serial Refleksi Kemerdekaan)