Langsung ke konten utama

Negeri Ini Lucu, Refleksi Serius tentang Kelucuan yang Tak Lucu



MENJUAL HARAPAN - “Negeri ini lucu.” Kalimat itu sering muncul di obrolan warung kopi, status media sosial, bahkan di ruang diskusi akademik yang mulai kehilangan kesabaran. Tapi lucu yang dimaksud bukan tentang tawa, melainkan tentang absurditas yang berulang, tentang ironi yang tak kunjung selesai. Lucu karena terlalu serius untuk ditertawakan, dan terlalu menyakitkan untuk diabaikan.

Di panggung politik, kelucuan itu tampil dalam bentuk drama kekuasaan yang tak pernah kekurangan episode. Hari ini bicara soal keberpihakan rakyat, besok sibuk mengatur panggung pencitraan. Lucu, karena janji-janji kampanye sering kali lebih teatrikal daripada sinetron sore. Kita tertawa, tapi dalam hati kita tahu: ini bukan komedi, ini tragedi yang dikemas dengan humor tipis.

Dalam birokrasi, kelucuan menjelma jadi prosedur yang berbelit, regulasi yang saling bertabrakan, dan pelayanan publik yang kadang lebih sibuk mengurus dokumen daripada manusia. Lucu, karena sistem yang katanya dirancang untuk melayani justru sering membuat warga merasa seperti tamu tak diundang di rumah sendiri.

Di dunia data dan kebijakan, kelucuan muncul saat angka-angka dipuja lebih dari cerita warga. Statistik kemiskinan menurun, tapi warung tetangga tutup. Indeks kebahagiaan naik, tapi anak muda makin banyak yang merasa kehilangan arah. Lucu, karena kita mulai percaya bahwa realitas bisa diringkas dalam grafik, bukan dalam suara-suara yang hidup.

Di media, kelucuan jadi tontonan harian. Isu penting tenggelam oleh gosip selebritas, dan debat publik berubah jadi ajang saling sindir tanpa substansi. Lucu, karena kita lebih tahu siapa yang pacaran dengan siapa daripada bagaimana nasib petani di desa. Informasi jadi hiburan, bukan pencerahan.

Di ruang budaya, kelucuan hadir saat tradisi dikomersialisasi tanpa makna, dan kreativitas dibatasi oleh algoritma. Lucu, karena ekspresi seni yang seharusnya membebaskan justru dikurung dalam tren yang viral. Kita menari di atas panggung digital, tapi lupa bertanya: untuk siapa tarian ini?

Di pendidikan, kelucuan terasa saat kurikulum berubah lebih cepat dari pemahaman guru, dan siswa dinilai dari angka bukan dari proses berpikir. Lucu, karena sekolah yang seharusnya jadi ruang pembebasan justru kadang jadi pabrik nilai. Kita ajarkan logika, tapi lupa merawat nurani.

Di ruang komunitas, kelucuan muncul saat partisipasi warga dijadikan formalitas, bukan kekuatan. Forum-forum dibuka, tapi suara-suara kritis disaring. Lucu, karena demokrasi lokal kadang lebih mirip simulasi daripada kenyataan. Kita diajak bicara, tapi tidak benar-benar didengar.

Tapi di balik semua kelucuan itu, ada harapan. Karena kelucuan yang disadari bisa jadi awal kesadaran. Kita mulai tertawa bukan karena tidak peduli, tapi karena kita tahu: ada yang harus diubah. Tawa reflektif adalah bentuk perlawanan paling lembut, tapi juga paling tajam.

Maka, mari kita terus tertawa—dengan sadar. Bukan untuk menghibur diri, tapi untuk mengingatkan bahwa negeri ini memang lucu. Tapi kelucuan itu bukan takdir. Ia adalah panggilan untuk berpikir, bergerak, dan merancang ulang panggung kehidupan bersama. Karena negeri ini layak lebih dari sekadar lelucon. (SJS)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...