HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Digitalisasi Tanpa Jiwa



MENJUAL HARAPAN - Digitalisasi, dalam wacana pemerintahan hari ini, telah menjadi mantra. Ia disebut dalam pidato, ditulis dalam rencana strategis, dan dipamerkan dalam bentuk aplikasi. Akan tetapi, di balik gemerlapnya, digitalisasi sering kali kehilangan jiwa—terlepas dari makna, etika, dan keberpihakan.

Warga sering kali bingung di hadapan layanan digital. Mereka diminta mengunduh aplikasi, mengisi formulir daring, dan mengikuti prosedur yang tak dijelaskan. Di desa tanpa sinyal, di komunitas tanpa literasi digital, digitalisasi menjadi tembok, bukan jembatan.

Dalam dialog komunitas, muncul keluhan: “Kami lebih paham bicara langsung daripada klik-klik.” Ini bukan penolakan terhadap teknologi, tetapi ekspresi kebutuhan akan pendekatan yang manusiawi. Digitalisasi yang tak kontekstual adalah bentuk baru dari eksklusi.

Digitalisasi juga sering kali menjadi topeng birokrasi. Layanan yang lambat dibungkus dengan antarmuka modern. Ketidakhadiran petugas digantikan oleh chatbot. Ketidakjelasan prosedur disembunyikan dalam menu yang rumit. Teknologi menjadi alat pelarian, bukan perbaikan.

Dalam refleksi filosofis, teknologi seharusnya memperluas kemampuan manusia. Ia harus mempermudah, mempercepat, dan memperkuat relasi sosial. Namun, ketika teknologi dipakai tanpa etika, ia justru memperdalam ketimpangan. Digitalisasi menjadi alat kekuasaan.

Pelayanan publik yang digital sering kali mengabaikan pengalaman warga. Mereka tak diajak bicara, tak dilibatkan dalam desain, dan tak diberi ruang untuk memberi masukan. Aplikasi dibuat dari atas, bukan dari bawah. Partisipasi hilang.

Digitalisasi juga menciptakan ilusi efisiensi. Proses terlihat cepat, tetapi substansi tak berubah. Warga tetap tak mendapat haknya, tetap bingung, dan tetap terpinggirkan. Efisiensi menjadi kosmetik, bukan transformasi.

Dalam sistem data, digitalisasi bisa menjadi alat kontrol. Warga dipantau, dilacak, dan dikategorikan. Privasi terancam, dan transparansi tak dijamin. Data menjadi komoditas, bukan hak. Teknologi kehilangan sisi kemanusiaannya.

Digitalisasi juga sering kali melupakan bahasa warga. Antarmuka berbahasa teknis, instruksi tak jelas, dan navigasi membingungkan. Warga harus menyesuaikan diri, bukan sistem yang menyesuaikan dengan warga. Bahasa menjadi penghalang.

Dalam pelayanan sosial, digitalisasi bisa memperdalam ketimpangan. Warga yang tak punya perangkat, tak punya akses internet, atau tak punya literasi digital menjadi korban. Mereka tak bisa mendaftar bantuan, tak bisa mengakses informasi, dan tak bisa menyuarakan keluhan.

Namun, digitalisasi bisa bermakna jika dirancang dengan etika. Ia harus dimulai dari kebutuhan warga, diuji bersama komunitas, dan dibangun dengan prinsip inklusi. Teknologi harus menjadi alat partisipasi, bukan alat dominasi.

Ruang desain digital yang berpihak. Di sana, aplikasi bisa diuji secara sosial, antarmuka bisa disesuaikan dengan konteks lokal, dan teknologi bisa menjadi alat advokasi. Digitalisasi harus membumi.

Dalam pendekatan visual, digitalisasi bisa dijelaskan dengan narasi, ilustrasi, dan simulasi. Ia harus bisa dirasakan, bukan hanya dilihat. Teknologi harus punya wajah manusia, bukan hanya kode. Visualisasi menjadi alat pemahaman.

Digitalisasi juga harus membuka ruang dialog. Warga harus bisa memberi masukan, mengajukan pertanyaan, dan menyampaikan keluhan. Teknologi harus mendengar, bukan hanya memberi instruksi. Dialog adalah inti pelayanan.

Dalam konteks kebijakan, digitalisasi harus diiringi dengan regulasi yang melindungi. Privasi harus dijamin, akses harus dibuka, dan keberpihakan harus ditegaskan. Teknologi tak boleh netral—ia harus berpihak pada yang lemah.

Dan mungkin, digitalisasi yang bermakna adalah ketika warga bisa berkata: “Saya merasa didengar, meski lewat layar.” Ketika mereka bisa mengakses haknya, memahami prosesnya, dan merasa dihargai. Teknologi harus menyentuh hati.

Episode ini adalah ajakan untuk mengembalikan jiwa dalam digitalisasi. Agar ia tak menjadi jargon, tetapi menjadi alat pembebasan. Karena teknologi tanpa jiwa adalah mesin yang dingin—dan pelayanan publik harus hangat, manusiawi, dan berpihak. (Episode-6 dari Serial Refleksi Kemerdekaan)

Tutup Iklan