Pelayanan Publik dan Krisis Makna, Sebuah Catatan untuk Tafsir Etis
“Makna harus terus dibuka, agar pelayanan tak kehilangan jiwa.”
MENJUAL HARAPAN - DEWASA ini, banjir istilah pelayanan publik terdengar megah, akan tetapi terasa kosong. Pertanyaan mendasarnya, apakah makna masih hidup dalam kata-kata yang kita pakai untuk melayani? Catatan kecil ini, mencoba mengelaborasi menelusuri kembali pentingnya makna dari sekedar jargon untuk merawat pelayanan melalui bahasa yang hidup, etis dan berpihak.
Dalam peradaban yang terus makin didominasi oleh kata efisiensi dan kalkulasi, kata-kata kehilangan nyawa.
Istilah-istilah dalam pelayanan publik, lebih sering tampil sebagai jargon teknokratis yang terlepas dari denyut hidup masyarakat yang sesungguhnya. Padahal, bahasa bukan sekadar medium komunikasi, ia merupakan jendela nilai, dan cermin relasi kuasa dalam penentu arah.
"Akses", "pelibatan", "partisipasi", bahkan "publik" itu sendiri, telah menjadi kata-kata usang, bukan karena maknanya tidak penting, tetapi karena cara penggunaannya tidak lagi menyentuh makna. Dalam banyak dokumen kebijakan, kata-kata tersebut seolah ditulis untuk membungkam kemungkinan lain, bukan membuka ruang tafsir yang baru. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya membuka makna, agar pelayanan bisa kembali dirawat, bukan sekadar dilaksanakan.
Membuka makna merupakan kerja epistemik dan sekaligus etis. Ia membutuhkan keberanian untuk mempertanyakan definisi resmi yang telah mapan. Siapa yang berhak mendefinisikan? Dari pengalaman siapa kata itu lahir? Untuk siapa ia ditujukan? Dan yang paling mendasar, adakah makna tersebut masih mewakili realitas dan harapan warga?
Dalam pelayanan publik, makna tidak hanya hidup di atas kertas, akan tetapi bergema dalam praktik sehari-hari. Misalnya, ketika seorang ibu yang tidak paham prosedur, lalu dimarahi petugas karena formulirnya salah isi, di situlah "akses" berubah arti. Ketika warga hanya dilibatkan di sesi akhir perencanaan, "partisipasi" menjadi basa-basi. Ketika sistem pengaduan hanya berujung pada nomor laporan, "tanggap" kehilangan makna kemanusiaan.
Oleh karena itu, merawat pelayanan bukan dimulai dari menambah SOP atau membangun aplikasi, tetapi dari menyegarkan kembali bahasa yang digunakan untuk membicarakannya. Merawat pelayanan berarti merawat kata, memberi napas pada istilah, dan menyematkan nilai pada setiap keputusan kecil dalam proses pelayanan.
Mengubah cara kita berpikir dan merasakan tentang pelayanan, dengan ajakan untuk memandang kata sebagai ruang perjumpaan antara birokrasi dan warga, antara nalar dan nurani.
Dalam proses penyusunannya, pendekatan kolaboratif menjadi nadi utama. Istilah-istilah tidak ditentukan sepihak oleh pakar, melainkan dimaknai ulang melalui cerita warga, refleksi birokrat, dan pengalaman komunitas.
Sebuah contoh: kata “pengaduan”. Dalam versi formal, ia berarti saluran bagi warga menyampaikan keluhan. Akan tetapi, pengaduan sering dianggap ancaman oleh petugas. Padahal bagi warga, itu adalah jeritan terakhir ketika semua pintu tidak terbuka. Maka, definisi yang lebih manusiawi bisa berbunyi: “pengaduan merupakan ikhtiar warga untuk tetap percaya bahwa negara masih bisa mendengarkan.”
Dalam peradaban yang adil, kata-kata tidak boleh dikuasai oleh satu golongan. Otoritas tunggal atas bahasa kebijakan, dan menggantinya dengan kolektivitas tafsir dengan menempatkan warga tidak hanya sebagai objek pelayanan, tetapi sebagai subjek pengetahuan.
Kerja membuka makna bukan pekerjaan sekali jadi. Namun merupakan proses yang terus-menerus (kontinyu), dialog yang tak pernah tuntas. Karena masyarakat berubah, pengalaman berganti, dan nilai-nilai terus diperjuangkan. Tetapi justru dalam ketidaktuntasan itulah pelayanan yang hidup bisa tumbuh.
Merawat pelayanan berarti bersedia mendengar yang pelan, membaca yang sepi, dan memahami yang tak tertulis. Bukan sekadar urusan anggaran, dan target capaian, namun perihal relasi antar-manusia, yaitu tentang bagaimana negara menyentuh warga, dan bagaimana warga merawat harapannya terhadap negara.
“Pengaduan merupakan ikhtiar warga untuk tetap percaya bahwa negara masih bisa mendengarkan.”
Menjadi tugas kita, menjaga makna. Memastikan ia hidup dalam praktik. Sehingga, dalam perjalanan itu, kita semua, birokrat, akademisi, dan wargaadalah penutur yang sama pentingnya.
Karena, di ujung segalanya, pelayanan publik bukan soal siapa yang memberi dan siapa yang menerima, tetapi tentang siapa yang mau hadir dengan empati, berpikir dengan etika, dan bertindak dengan kesadaran bahwa makna harus terus dibuka, agar pelayanan tak pernah kehilangan jiwa. (Silahudin)