Langsung ke konten utama

Pasar Kekuasaan, Tawar-Menawar Jiwa

Ilustrasi "Pasar Kekuasaan, Tawar Menawar Jiwa


MENJUAL HARAPAN - Panggung Nusantara kini berubah menjadi pasar gelap yang ramai. Bukan pasar tempat jual beli rempah atau kain, melainkan pasar tempat tawar-menawar kekuasaan dan jiwa. Setiap kursi di panggung, setiap jabatan, setiap janji, memiliki harga. Dan harga itu tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan integritas, moralitas, dan kesetiaan. Para Pengatur Irama, Si Juru Bicara Berapi-api, dan Si Penenun Kata-kata, adalah para pedagang utama di pasar ini.

Mereka saling berlomba menawarkan "produk" terbaik mereka kepada Para Dalang Sesungguhnya. Ada yang menawarkan kesetiaan buta, ada yang menawarkan kemampuan mengendalikan massa, ada yang menawarkan data dan informasi rahasia. Setiap penawaran disajikan dengan gembar-gembor yang meriah, seolah-olah mereka adalah pahlawan yang sedang berjuang demi kepentingan rakyat. Padahal, mereka hanya berebut posisi, berebut kue kekuasaan yang semakin mengecil.

Si Jujur, si kambing putih, melihat semua itu dengan mata terbelalak. Ia tak mengerti mengapa manusia rela menjual jiwa mereka demi sesuatu yang fana. Ia melihat bagaimana seorang tokoh yang kemarin menggembar-gemborkan keadilan, hari ini diam seribu bahasa setelah menerima "hadiah" berupa posisi empuk. Ia melihat bagaimana seorang yang kemarin berteriak tentang penindasan, hari ini menjadi bagian dari para penindas setelah mendapatkan jatah kekuasaan.

Para Dalang Sesungguhnya adalah pembeli utama di pasar ini. Mereka memiliki gudang tak terbatas berisi "imbalan" yang bisa mereka tawarkan: kekayaan, jabatan, perlindungan hukum, atau bahkan janji-janji surga di masa depan. Mereka tak perlu mengeluarkan uang tunai, cukup dengan menjentikkan jari, dan para pedagang jiwa ini akan bertekuk lutut. Mereka menikmati pertunjukan tawar-menawar ini, melihat bagaimana harga diri dan integritas manusia bisa ditawar serendah mungkin.

Beberapa penonton yang awalnya idealis, kini mulai tergoda untuk ikut serta dalam pasar ini. Mereka melihat bagaimana teman-teman mereka yang dulu sama-sama berjuang, kini hidup bergelimang harta dan kekuasaan setelah "berdagang" di pasar ini. Mereka mulai berpikir, "Mengapa tidak aku juga?" Perlahan-lahan, jiwa mereka mulai terkikis, tergantikan oleh ambisi dan nafsu duniawi. Mereka yang tadinya bersih, kini mulai terlumuri lumpur transaksi gelap.

Bahkan ada fenomena "pasar gelap kecil" di antara para penonton itu sendiri. Mereka saling menawarkan suara, saling berjanji untuk memilih seseorang, demi mendapatkan sedikit imbalan materi. Pemilihan pemimpin pun tak lagi berdasarkan kualitas dan visi, melainkan berdasarkan siapa yang paling banyak memberi dan paling besar janjinya. Ini adalah dagelan yang paling menyedihkan, ketika suara rakyat yang seharusnya suci, kini diperjualbelikan seperti barang dagangan.

Si Jujur tak bisa menahan diri lagi. Ia mengembik keras, meluapkan kekecewaannya. "Mengapa kalian rela menjual diri kalian sendiri?" teriaknya, meskipun tidak ada yang mengerti bahasanya. Ia hanya ingin padang rumput kembali menjadi tempat yang jujur, di mana nilai-nilai mulia masih dihargai, bukan diperjualbelikan. Tapi tampaknya, suara embikannya tenggelam di antara bisingnya transaksi di pasar kekuasaan itu. (Sesi - 5 dari “Dagelan Politik”)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...