Mafia Beras Oplosan Rugikan Negara Rp 100 Triliun, DPR Minta Penegakan Hukum Tegas
Ilustrasi beras oplosan (Foto hasil tangkapan layar dari Kompas.com |
MENJUAL HARAPAN – Praktik pengoplosan beras premium yang marak terungkap belakangan ini mencuatkan keprihatinan luas dari berbagai pihak, mulai dari parlemen hingga akademisi. Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut fenomena ini sebagai bentuk kejahatan ekonomi yang merugikan rakyat kecil dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem distribusi pangan nasional.
“Rakyat jangan menjadi korban dari pasar yang tidak jujur. Apalagi di tengah tekanan ekonomi, praktik curang seperti ini adalah bentuk pembohongan publik,” tegas Puan seperti dikutip Kompas.com (14/7/2025). Ia mendesak negara untuk bertindak tegas melawan mafia pangan dan pelaku usaha nakal yang melanggar etika dan hukum.
Puan menekankan bahwa masalah ini tidak semata-mata soal perdagangan, melainkan menyangkut hak dasar masyarakat atas pangan yang layak, aman, dan jujur secara informasi. Ia menyerukan reformasi sistem pelabelan dan pengawasan mutu pangan serta melibatkan masyarakat sipil dan akademisi dalam proses pengawasan.
Di sisi lain, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengungkap bahwa beras oplosan bahkan sudah beredar luas di minimarket dan supermarket, dikemas layaknya beras premium padahal mutunya sangat rendah. “Temuan kami menunjukkan ada 212 merek yang tidak memenuhi standar mutu,” ujar Amran, dikutip dari metrotvnews.com (14/7/2025).
Ia menjelaskan bahwa manipulasi meliputi volume dan kualitas. Beberapa kemasan mencantumkan berat 5 kilogram, padahal hanya berisi 4,5 kilogram. Bahkan, sebanyak 86% dari produk yang disebut “premium” ternyata hanya beras biasa. “Praktik ini merugikan masyarakat hingga Rp 99 triliun per tahun,” kata Amran.
Kementan bersama Satgas Pangan telah melaporkan kasus ini ke Kapolri dan Jaksa Agung dengan harapan agar proses hukum berjalan cepat dan memberikan efek jera. Saat ini, sejumlah produsen telah dipanggil dan diperiksa oleh aparat.
Kementerian Perdagangan juga turut bergerak. Dalam pemeriksaan terhadap 35 kemasan dari 10 merek beras premium, hanya satu yang memenuhi standar mutu. “Kami telah menjatuhkan sanksi administratif dan memberikan pembinaan kepada pengusaha,” jelas Dirjen PKTN Kemendag, Moga Simatupang seperti dikutip tempo.co (14/7/2025).
Ia menambahkan, pelanggaran mencakup ketiadaan nomor pendaftaran, pelabelan tidak sesuai kelas mutu, dan ketidaksesuaian berat kemasan. Tindak lanjut diberikan melalui pembinaan daring oleh Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk temuan ini, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan. Banyak warga mengaku tertipu karena beras yang dibeli berubah rasa dan warna. “Saya curiga karena nasi jadi cepat basi dan bau. Ternyata itu beras oplosan,” ungkap seorang warga, seperti dilaporkan Kompas.com.
Guru Besar IPB University, Prof Tajuddin Bantacut, memperingatkan soal bahaya kesehatan dari beras oplosan. Menurutnya, beberapa di antaranya bisa mengandung zat kimia berbahaya seperti pemutih atau pengawet sintetis. “Kalau nasi terasa beda dari biasanya, dari bau, warna, hingga bentuk butiran, itu patut dicurigai,” jelas Tajuddin, dikutip dari cnbcindonesia.com (15/7/2025).
Ia menyebut ada tiga pola umum oplosan: pencampuran varietas beras murah dan mahal; beras rusak yang diproses ulang dengan bahan kimia; dan pencampuran bahan lain seperti jagung. “Beras oplosan bisa merusak hati, ginjal, hingga menurunkan daya tahan tubuh,” tegasnya.
Prof Tajuddin mengimbau masyarakat untuk tidak membeli beras dari sumber tidak jelas, selalu mencuci beras sebelum dimasak, dan memperhatikan bau serta warna butiran. Ia juga mengingatkan agar penyimpanan beras tak lebih dari enam bulan untuk menjaga kualitas.
Kasus ini menjadi refleksi buruk tata kelola distribusi pangan nasional. “Kedaulatan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi tentang bagaimana rakyat mendapatkan haknya secara adil,” tandas Puan.
Di tengah kekhawatiran publik, DPR RI berkomitmen mengawal reformasi sistem pangan agar benar-benar menjawab kebutuhan rakyat. Kini, semua mata tertuju pada proses hukum yang sedang berjalan serta langkah-langkah nyata pemerintah dalam menjamin keadilan konsumen. (S_267)