MENJUAL HARAPAN - Pada suatu hari, di sebuah negeri yang dipenuhi warna dan denting kebahagiaan, sebuah pesta besar digelar. Undangan tersebar luas (dari mulut ke mulut) hingga ke pelosok kampung, menjanjikan hidangan melimpah, musik meriah, dan harapan akan kebersamaan yang tak terbatasi status. berduyun-duyun orang berdatangan dengan ragam pakaian terbaik mereka, bukan karena gemerlap kain, tetapi oleh harapan akan rasa diterima.
Jamuan itu bukan sekadar makan tentunya. Ia merupakan simbol keterbukaan, citra kebaikan para tuan rumah yang ingin dikenang sebagai dermawan sosial. Dalam narasi yang disebarkan, pesta adalah bukti bahwa kekuasaan tak elitis, bahwa dinding istana bisa ditembus oleh rakyat kecil untuk sekadar menyentuh kemewahan sehari.
Akan tetapi, di antara gelak tawa dan irama gendang, ada yang tak terbaca dalam daftar tamu, yaitu kelemahan sistem, abai terhadap peringatan, dan anggapan bahwa niat baik tak mungkin berujung celaka. Sebuah kelalaian kecil merambat menjadi tragedi. Beberapa tamu tak pernah pulang. Kursi-kursi mereka kini sunyi, menyisakan sendu yang tak tercantum dalam agenda pesta.
Di desa asal mereka, kabar duka datang seperti angin dingin yang tiba-tiba menusuk. Nama-nama yang semula tak dikenal kini menjadi puisi muram dalam obrolan warga. “Dia hanya ingin makan bersama,” kata seorang tetua, “bukan pergi selamanya.”
Pesta itu berubah rupa—dari jamuan kebahagiaan menjadi monumen senyap atas kepedihan. Tidak ada yang salah dengan niat memberi. Namun, dalam pelaksanaan yang tak berpihak pada keselamatan, kebaikan bisa menjadi panggung bagi ironi yang menyakitkan.
Kini, tuan rumah terdiam. Ia tak tahu harus meminta maaf kepada siapa, atau bagaimana cara mengembalikan hidup yang telah pergi. Di depan mikrofon, ia bicara tentang penyesalan, tentang prosedur, tentang teknis yang akan dibenahi. Tapi di halaman rumah warga, yang tersisa adalah bayang-bayang mereka yang telah tiada.
Tragedi itu, bukan milik satu pihak. Ia cermin bagi tata kelola rasa, yaitu bagaimana euforia bisa menutupi kehati-hatian, bagaimana jamuan bisa menjadi jerat jika solidaritas hanya dipahami sebagai konsumsi kolektif, bukan keselamatan bersama.
Barangkali negeri ini perlu memikirkan ulang makna pesta. Apakah ia masih menjadi simbol keberpihakan, atau hanya topeng yang menyamarkan ketimpangan? Apakah kehadiran rakyat dalam euforia merupakan bukti kebersamaan, atau justru tanda kerapuhan sistem yang belum selesai?
Pesta akan terus ada. Tetapi, ke depan, kursi-kursi tak lagi kosong karena nyawa yang terabaikan. Semoga undangan tak hanya menyambut, tetapi juga melindungi. Karena kebaikan sejati bukan dalam jumlah nasi yang dibagikan, tetapi dalam keselamatan setiap orang yang datang dengan harapan. (S_267)
Komentar