Senja di Ujung Harapan (Sesi-1 dari Cerber "Lorong Gelap Keadilan)
MENJUAL HARAPAN - Senja itu berkalung jingga, tetapi bukan kehangatan yang tercipta, melainkan bayangan panjang yang meliuk, serupa ular-ular dingin yang merayapi setiap sudut jiwa di negeri ini. Langit barat memang menyajikan lukisan elok perpisahan sang surya, namun di bawahnya, tanah ini berdenyut dengan kepahitan yang tak terucap.
Keadilan, sebuah kata yang seharusnya teguh dan terang, kerap kali hanya ilusi, fatamorgana di tengah padang fatamorgana lain yang tak berkesudahan. Rakyat terbiasa menelan getirnya janji manis yang tak pernah terwujud, dan harapan seringkali hanya menjadi debu yang tertiup angin.
Sebuah bisikan lirih kerap terdengar, menyusup di antara celah-celah dinding rapuh rumah-rumah rakyat kecil, tentang lorong-lorong kelam yang tak terjamah cahaya matahari, tempat kebenaran merana dan keadilan dibungkam paksa. Di sana, di balik tirai-tirai tebal yang disulam oleh intrik dan kekuasaan, nasib-nasib manusia ditentukan tanpa nurani. Kisah-kisah pilu tentang penindasan dan persekongkolan menjadi dongeng pengantar tidur bagi anak-anak, mengukir ketakutan jauh di lubuk hati mereka. Ini adalah realitas pahit yang terpampang nyata.
Di tengah lanskap keputusasaan itu, seorang pemuda sebut saja bernama Dadun melangkah, dengan mata yang menyimpan seribu tanya, bagaikan sumur tua yang tak pernah kering dari rasa ingin tahu. Ia bukan dari kalangan berada, bukan pula pewaris tahta, hanya seorang pencari kebenaran yang tak kenal lelah. Dadun tak mencari harta, tak pula kuasa yang gemerlap, hanya sehelai benang keadilan yang entah di mana ujungnya, apakah ia telah putus atau masih tersimpan di suatu tempat.
Ia telah mendengar banyak cerita, menyaksikan sendiri bagaimana ketidakadilan merajalela, menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hatinya teriris melihat air mata yang mengering, senyum yang memudar, dan semangat yang padam karena cengkeraman sistem yang tak berpihak. Refleksi dalam dirinya mengatakan bahwa berdiam diri adalah dosa, dan bahwa keheningan adalah restu bagi kezaliman. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk tidak tinggal diam, untuk menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara.
Dadun tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Lorong yang akan ia susuri penuh liku, dihuni oleh bayangan-bayangan menakutkan dan jebakan-jebakan tak terduga. Namun, ada api kecil di dadanya, sebuah keyakinan bahwa keadilan, meskipun tersembunyi, tetap ada. Ia percaya, sekecil apapun, cahaya akan selalu menemukan jalannya untuk menembus kegelapan. Inilah awal mula petualangan Dadun, sebuah odyssey untuk mencari dan menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik tabir gelap.
Ia memulai langkahnya bukan dengan gemuruh, melainkan dengan keheningan dan keteguhan hati. Setiap embusan napasnya adalah tekad, setiap pandangannya adalah doa. Dadun merupakan representasi dari harapan yang masih tersisa, bukti bahwa di tengah badai, masih ada jiwa-jiwa yang berani berdiri tegak, melawan arus, demi sebuah cita-cita mulia: keadilan. (* bersambung)