Langsung ke konten utama

Jejak-jejak Bisikan Malam (Sesi-2 dari Cerber "Lorong Gelap Keadilan")




MENJUAL HARAPAN - Malam, saksi bisu yang setia, membentangkan selimut kelam di atas kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di bawah rembulan pucat yang menggantung, serupa mata Dewi Keadilan yang mengintip dari kejauhan, Dadun menapak jejak-jejak samar. Bukan jejak kaki di tanah, melainkan jejak-jejak bisikan yang terbang terbawa angin malam, terangkai dari cerita-cerita yang beredar dari mulut ke mulut, dari warung kopi hingga sudut-sudut jalanan kumuh. Setiap bisikan adalah fragmen kebenaran yang tersembunyi, menanti untuk disatukan.

Desas-desus, bisikan-bisikan terlarang, cerita-cerita tentang tiran berjubah keadilan, dan penindas berhati beku yang bersarang di puncak-puncak kekuasaan. Semua menjelma peta tak kasat mata bagi Dadun. Ia tak memerlukan kompas atau peta cetak; hatinya yang tulus dan telinganya yang tajam merupakan penunjuk arah terbaik. Setiap keluhan, setiap desahan, setiap erangan kesakitan yang ia tangkap, menjadi petunjuk berharga dalam pencariannya.

Dadun, menyusuri gang-gang sempit yang lembab, berdialog dengan bayangan-bayangan yang melintas, dengan para pedagang kaki lima yang bertahan hidup dari remah-remah sistem, dengan kaum marginal yang telah lama terlupakan. Dari mereka, Dadun menangkap fragmen-fragmen kisah pilu yang terpencar, serupa pecahan kaca dari cermin kehidupan yang hancur. Setiap kisah, luka yang menganga, setiap luka, bukti nyata bahwa keadilan, di negeri ini, seringkali hanya serpihan cermin pecah, memantulkan bayangan yang tak utuh, bahkan terkadang sama sekali tak ada.

Refleksi dalam gelap malam itu,  memperlihatkan Dadun bahwa kebenaran itu kompleks, bersembunyi di balik lapisan-lapisan tipu daya dan kepentingan. Orang-orang takut berbicara, takut akan bayangan-bayangan yang mengintai, takut akan konsekuensi yang mungkin menimpa. Tetapi, di mata mereka, Dadun melihat secercah harapan yang belum sepenuhnya padam, sebuah keinginan membara untuk melihat keadilan ditegakkan, meskipun mereka sendiri tak berdaya untuk melakukannya.

Malam itu, Dadun belajar bahwa lorong gelap keadilan tidak hanya terbentuk dari hukum dan pasal, namun juga dari ketakutan yang mencekam, dari kesunyian yang memekakkan, dan dari keputusasaan yang menggerogoti.

Ia merasa beban di pundaknya semakin berat, namun tekadnya semakin kuat. Setiap jejak yang ia tapak adalah sumpah, setiap bisikan yang ia dengar adalah pemicu. Ia tak bisa lagi menutup mata, berpura-pura tak mendengar.

Dadun, menyadari bahwa perjuangannya bukan hanya tentang kasus per kasus, tetapi tentang mengubah narasi yang telah lama terbangun, tentang menyingkap kebohongan yang telah menjadi kebenaran umum. Malam itu juga, Dadun seorang pendengar setia, sebuah wadah bagi suara-suara yang telah lama terbungkam, mempersiapkan diri untuk meneriakkan kebenaran di tengah hiruk pikuk ketidakadilan.

Ia membiarkan heningnya malam meresap ke dalam dirinya, membiarkan bintang-bintang menjadi saksi bisu dari janji yang ia ukir dalam hati: untuk mencari, menemukan, dan memperjuangkan keadilan, di lorong gelap mana pun ia bersembunyi. Malam itu, Dadun bukan hanya seorang pencari, ia harapan yang bersemi di tengah kegelapan. (bersambung ke sesi 3)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...