Hijrah, Keberanian Moral, dan Politik yang Beradab
Tahun Baru Hijriah 1447, telah tiba, dan hijrah tak hanya catatan sejarah spiritual, namun juga lompatan etis dalam lanskap sosial-politik. Di tengah demokrasi yang kelelahan dan kekuasaan yang semakin menjauh dari nurani, Tahun Baru Hijriah 1447 H, menjadi momentum merenung dan berpindah, yaitu dari retorika menuju keberanian. Tentu bukan hanya sekedar pindah tempat, namun berpihak. Oleh karena selama ada sistem yang menjauhkan rakyat dari martabatnya, maka hijrah belum selesai.
Perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah bukan hanya peristiwa fisik, tetapi tindakan moral-politik. Nabi SAW meninggalkan kota kelahirannya bukan karena lemah, melainkan karena kuat menolak tunduk pada sistem yang menindas. Madinah bukan tujuan akhir, namun ruang terbuka untuk menyusun masyarakat baru, berbasis keadaban, kontrak sosial, dan penghormatan terhadap kemanusiaan lintas keyakinan.
Piagam Madinah merupakan tonggak penting peradaban sipil. Dari sana tertulis prinsip-prinsip etika hidup bersama, yaitu: tanggung jawab kolektif, kesetaraan hak, jaminan hidup komunitas minoritas, hingga larangan atas kekuasaan sepihak. Di tengah reruntuhan etika publik akhir-akhir ini, nilai-nilai itulah yang mendesak dihidupkan kembali.
Realitas kita dewasa ini, menggambarkan kondisi pascakontrak. Sistem demokrasi prosedural berjalan rutinitas tanpa ruh. Elite-elite ekonomi-politik berselingkuh di balik retorika reformasi. Lembaga-lembaga representatif tak lagi mewakili suara mereka yang paling terpinggirkan. Dalam situasi seperti itu, hijrah bukan sekadar simbol religiusitas. Ia menjadi akal sehat yang berjalan kaki di tengah jalanan retak kuasa.
Dan kita tahu, dalam sejarah hijrah Nabi Muhammad SAW pun, yang paling penting bukan perpindahan itu sendiri, akan tetapi keberanian menyusun tatanan baru. Membangun relasi berbasis kesetaraan, membagi kuasa tanpa mencabut hak, dan menempatkan manusia sebagai poros etika.
Hijrah hari ini mesti lebih konkret. Berupa keputusan untuk tidak tunduk pada narasi resmi yang menyesatkan. Bisa berbentuk penolakan terhadap proyek-proyek pembangunan yang merampas hidup warga. Bisa hadir dalam ruang belajar alternatif, koperasi media, forum adat, atau bahkan selembar zine yang menyuarakan mereka yang tak punya saluran resmi.
Maka, menyambut Tahun Baru Hijriah 1447 ini, pertanyaannya bukan apakah kita akan memperingati, tetapi, dari apa kita harus berpindah? Dan ke mana langkah ini akan kita arahkan?
Selama ketimpangan masih dianggap biasa, selama eksploitasi dibungkus jargon nasionalisme, selama suara minoritas dituding sebagai gangguan, maka hijrah tetap jadi tugas.
Hijrah merupakan keberanian bermakna. Hijrah bukan sejarah, bukan pula seremoni. Ia adalah pintu. Dan pintu itu, kini kembali terbuka lebar. (Silahudin)