Langsung ke konten utama

Fajar yang Masih Tertunda (Tamat dari "Lorong Gelap Keadilan")



MENJUAL HARAPAN - Lorong gelap keadilan, dengan segala liku dan misterinya, memang masih membentang luas di negeri ini. Ia merupakan entitas yang kompleks, terjalin dari benang-benang kekuasaan, kepentingan, dan ketakutan yang telah mengakar dalam sejarah panjang bangsa. Akan tetapi, kini Dadun tidak lagi sendiri. Ia bukan lagi sang pengelana tunggal yang meraba-raba dalam kegelapan; ia bagian dari gelombang, sebuah gerakan yang perlahan namun pasti mulai membentuk arus.

Ada Kinanti, sang jaksa muda yang kini semakin berani menghadapi dilema internalnya, mengambil langkah-langkah berani dari dalam sistem, menjadi mata dan tangan keadilan yang tak terlihat. Ada pula suara-suara rakyat kecil yang semula terbungkam, kini mulai berani bersuara, berani menuntut hak-hak mereka di muka umum.

Mereka adalah para petani yang tanahnya direnggut, para buruh yang haknya diinjak, para korban yang mencari keadilan. Harapan, yang dulunya hanya berupa bisikan samar, kini perlahan tumbuh menjadi gumaman, kemudian menjadi teriakan yang semakin kuat.

Fajar mungkin masih tertunda, belum sepenuhnya menyingsing di ufuk timur. Langit masih diwarnai semburat kelabu yang menandakan sisa-sisa malam. Akan tetapi, secercah sinarnya sudah terlihat, memecah kegelapan, memberikan janji akan hari baru. Cahaya itu bukan hanya datang dari keberanian Dadun, setiap individu yang memilih untuk tidak tinggal diam, yang menolak untuk menyerah pada ketidakadilan.

Perjalanan Dadun, pengingat yang begitu kuat dan mendalam, bahwa keadilan merupakan perjuangan abadi, sebuah impian yang harus terus diperjuangkan, digali dari tumpukan lumpur ketidakbenaran yang telah mengendap lama. Ia merupakan tugas mulia yang takkan pernah usai, sebuah estafet yang harus diteruskan dari generasi ke generasi. Setiap langkah Dadun, setiap jatuh bangunnya, sebuah pelajaran tentang ketabahan, tentang arti sejati dari sebuah perjuangan.

Di setiap jejak langkahnya, ada bisikan puitis yang tak terucapkan, sebuah refleksi mendalam tentang betapa berharganya sehelai benang keadilan di negeri yang masih mencari cahayanya sendiri. Ia narasi tentang ketidaksempurnaan manusia dan sistemnya, tetapi tentang harapan yang tak pernah pudar, tentang kekuatan jiwa yang menolak untuk tunduk pada kezaliman. Dadun bukan sekadar pahlawan dalam cerita ini; ia adalah simbol dari jutaan orang yang mendambakan keadilan.

Masa depan mungkin masih buram, penuh dengan tantangan dan rintangan. Akan tetapi, dengan adanya Dadun dan para sekutunya, dengan semakin banyaknya suara yang berani, fajar itu pasti akan tiba. Mungkin tidak secepat yang diinginkan, tetapi ia akan datang. Dan ketika fajar keadilan itu menyingsing, ia akan membawa serta cahaya bagi setiap sudut lorong gelap yang selama ini tersembunyi, menerangi setiap bayangan, dan mengakhiri penantian panjang akan sebuah keadilan sejati.(Tamat)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...