Langsung ke konten utama

Dilema Sang Penegak Hukum (Sesi 6 dari Cerber "Lorong Gelap Keadilan)





MENJUAL HARAPAN - Tak semua penegak hukum berhati gelap, diselimuti ambisi busuk dan kepentingan pribadi. Di antara mereka, Dadun menemukan sosok-sosok yang bergumul dalam dilema yang mendalam, terjebak antara sumpah jabatan yang mereka ucapkan dan bisikan nurani yang tak henti-hentinya menggugah. Mereka merupakan cerminan dari pertarungan abadi antara kebaikan dan kejahatan, yang terjadi tidak di medan perang, melainkan di lorong-lorong hati manusia.

Dadun bertemu dengan seorang jaksa muda, sebut saja namanya Kinanti, yang wajahnya masih menyimpan idealisme yang begitu kental, belum terkontaminasi oleh pragmatisme sistem. Matanya memancarkan kejujuran, namun juga terlihat jelas ada beban berat yang ia pikul. Kinanti adalah cermin dari pergulatan batin, antara keinginan kuat untuk menegakkan keadilan sejati dan tekanan sistem yang mencekik, yang kerap memaksanya untuk berkompromi dengan kebenaran. Ia seringkali merasa terimpit, terjebak dalam jaring-jaring birokrasi yang rumit dan politik kekuasaan yang kejam.

Kinanti bercerita kepada Dadun tentang bagaimana sulitnya bekerja di lingkungan yang penuh intrik. Bagaimana tuntutan untuk memenuhi target, tekanan dari atasan, dan ancaman dari pihak-pihak berkuasa seringkali membuatnya harus mengesampingkan hati nuraninya. Ia sering melihat bagaimana kasus-kasus besar "diuapkan" begitu saja, bagaimana bukti-bukti penting hilang, dan bagaimana tersangka-tersangka penting lolos dari jeratan hukum, sementara rakyat kecil harus mendekam di balik jeruji besi untuk kesalahan kecil.

Melalui Kinanti, Dadun memahami bahwa lorong gelap keadilan itu tidak hanya ditempati oleh para penjahat yang terang-terangan melanggar hukum, tetapi juga oleh mereka yang terperangkap dalam jaring-jaring kompleks birokrasi dan kekuasaan. Mereka merupakan  pion-pion dalam permainan catur besar, kadang-kadang dipaksa untuk mengambil langkah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mereka yakini. Kinanti adalah salah satu dari sedikit yang berani menyuarakan keresahannya, meskipun secara sembunyi-sembunyi.

Renungan Dadun, semakin mendalam: keadilan bukanlah sekadar hitam atau putih, melainkan sebuah spektrum warna abu-abu yang rumit. Ada individu-individu yang berjuang dari dalam, mencoba mengubah sistem yang korup, namun terbentur pada tembok besar kekuasaan. Kinanti, dengan segala keterbatasannya, adalah sekutu potensial, sebuah harapan bahwa masih ada integritas di dalam sistem yang sedang sakit ini.

Dadun tidak menghakimi Kinanti. Ia justru melihat potensi besar dalam diri jaksa muda itu. Mereka mulai berdiskusi, berbagi informasi, dan mencari celah. Dadun memberikan perspektif dari luar sistem, dari sudut pandang korban dan rakyat kecil, sementara Kinanti memberikan pemahaman tentang dinamika internal birokrasi hukum. Kolaborasi ini membuka babak baru dalam perjuangan Arsa.

Walaupun Kinanti tidak bisa secara terang-terangan membantu, setiap informasi yang ia berikan, setiap peringatan yang ia sampaikan, sangatlah berharga. Ia adalah mata dan telinga Dadun di dalam sistem. Pertemuan ini menegaskan bahwa keadilan tidak hanya diperjuangkan di jalanan, tetapi juga di meja-meja kerja, di balik tumpukan berkas, dan di ruang-ruang rapat yang sunyi.

Dadun meninggalkan pertemuan dengan Kinanti dengan penuh rasa campur aduk: iba atas dilema Kinanti, tetapi juga optimis karena menemukan sekutu tak terduga. Ia tahu, perjuangan ini akan membutuhkan lebih dari sekadar keberanian, tetapi juga kecerdikan dan jaringan yang kuat. Dan Kinanti, dengan segala keterbatasannya, adalah permulaan dari jaringan itu, sebuah cahaya kecil di tengah kegelapan yang pekat. (bersambung ke sesi 7)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...