Catatan dari Piala Presiden 2025: Sepak Bola Cermin Peradaban
Oleh Silahudin
MENJUAL HARAPAN - Kompetisi sepak bola Piala Presiden 2025 memasuki babak final. Dalam final ini, tidak satu pun klub Indonesia lolos ke final.
Dua tim asing, yaitu Oxford United, dan Port FC memimpin dengan disiplin, efisiensi, dan strategi matang. Pertanyaannya, apakah ini sekadar soal kemampuan teknis? Ataukah kita menyaksikan manifestasi dari ekosistem sepak bola yang belum tumbuh sebagai semesta nilai dan etos?
Perlu dipahami, sepak bola bukan sekadar permainan. Ia merupakan representasi dari bagaimana suatu bangsa mendidik, mengenali, dan membentuk karakter kolektifnya.
Ketika tim nasional atau klub gagal bersaing, kita tidak hanya bicara soal taktik; kita bicara tentang sistem pembinaan, budaya kerja, dan kedalaman nilai-nilai publik yang mendasarinya.
Epistemologi Pembinaan
Memang, ada banyak akademi sepak bola Indonesia, pembinaan masih terjebak pada skema kuantitatif: berapa banyak pemain, berapa kali latihan, berapa gelar yang diraih. Akan tetapi, kita perlu beranjak ke epistemologi pembinaan yang lebih humanistik, yaitu bagaimana membentuk pemikiran taktis, kecerdasan emosional, dan sikap reflektif dalam bermain.
Oleh karena, sebuah sistem pembinaan mestinya menggambarkan muncul pemain sebagai manusia utuh, bukan hanya sebagai mesin gol. Di sinilah etika dan pendidikan karakter harus menyatu dalam metode kepelatihan, dengan pelatih berperan sebagai pendidik, bukan sekadar pengatur strategi.
Kelembagaan Sepak Bola sebagai Ruang Etis
Klub-klub sepak bola, bukan hanya sekadar entitas bisnis, akan tetapi mereka merupakan ruang publik yang membentuk etika kolektif. Kegagalan klub-klub Indonesia bukan hanya soal tak mampu mencetak gol, melainkan cermin dari lembaga yang belum mampu mewujudkan keberdayaan manajerial, transparansi, dan akuntabilitas.
Tampak disini, harus ada transisi dari kepemilikan klub yang berorientasi pada gengsi politik dan ekonomi menuju tata kelola berbasis nilai.
Liga harus menjadi medan tempat berkembangnya prinsip-prinsip keadilan, inklusi, dan interkonektivitas antara pemain, manajemen, dan pendukung.
Membangun ekosistem sepak bola sebagai ekologi pengetahuan, menjadi perspektif strategis untuk pembinaan. Oleh karena, filosofi sepak bola modern menuntut kita membangun ekosistem bukan hanya sebagai rantai kompetisi, tetapi, sebagai ekologi pengetahuan.
Dari akademi, media, fans, hingga kebijakan pemerintah, semua harus terintegrasi dalam narasi bersama untuk menciptakan budaya sepak bola yang reflektif dan progresif.
Catatan penutup
Kompetisi seperti Piala Presiden, seharusnya dimaknai sebagai momen evaluatif yang melampaui skor pertandingan. Ia membuka ruang kontemplatif bagi para pemikir, pembuat kebijakan, dan pelaku olahraga untuk meninjau kembali raison d'être dari sepak bola Indonesia. (Sjs_267)