Langsung ke konten utama

Bisikan Angin dan Racun Janji

 



MENJUAL HARAPAN - Angin di Nusantara mulai berbisik, membawa serpihan-serpihan janji yang beterbangan. Janji-janji itu tak ubahnya permen kapas, terlihat manis dan mengembang besar, tetapi (akan) meleleh dan lenyap dalam sekejap begitu bersentuhan dengan lidah kenyataan.

Si Penenun Kata-kata adalah master dari semua bisikan ini. Ia tahu persis bagaimana merangkai kata-kata agar terdengar merdu di telinga rakyat, bagaimana menjanjikan bulan dan bintang agar mereka terlena. Ia berjanji akan membangun jembatan emas, mencetak uang dari daun kering, bahkan mengubah air mata menjadi berlian.

Para pendukungnya, yang kini lebih mirip kawanan lebah yang mengerumuni madu, bersorak riang setiap kali janji itu terlontar. Mereka tak peduli apakah janji itu masuk akal atau tidak, yang penting terdengar indah dan memberi harapan.

Beberapa di antaranya bahkan mulai saling berebut, berharap bisa mencicipi tetesan madu pertama dari janji-janji manis itu. Mereka bahkan rela berdesakan, saling injak, demi seulas senyum dari sang Penenun Kata-kata.

Akan tetapi, di balik setiap janji manis, tersembunyi racun yang mematikan. Racun itu bernama "kelupaan". Setelah janji diucapkan, ia akan segera dilupakan begitu saja, tenggelam dalam lautan janji-janji baru yang lebih menggiurkan. Seperti seorang pedagang obat palsu yang selalu menawarkan ramuan baru sebelum ramuan sebelumnya terbukti tak mujarab, begitu pula Para Pengatur Irama. Mereka punya persediaan janji yang tak terbatas, dan tak pernah kehabisan ide untuk menciptakan janji-janji yang lebih besar dan lebih fantastis.

Si Jujur, si kambing putih, tak pernah tertarik dengan permen kapas janji itu. Ia lebih suka rumput segar yang nyata, yang bisa mengenyangkan perutnya. Ia sering melihat bagaimana janji-janji itu bertebaran di udara, lalu menghilang begitu saja tanpa jejak, meninggalkan kekecewaan di hati para penonton yang sempat terbuai. Ia pernah mencoba menyuarakan keberatannya, mengembik bahwa janji tanpa perbuatan hanyalah omong kosong. Namun, suaranya terlalu lemah dibandingkan gemuruh sorak-sorai yang membutakan.

Para Dalang Sesungguhnya, dari singgasana tersembunyi mereka, tersenyum sinis. Mereka tahu persis bahwa janji adalah senjata paling ampuh untuk mengendalikan massa. Beri mereka harapan palsu, dan mereka akan tetap setia, bahkan ketika perut mereka keroncongan dan rumah mereka roboh. Janji adalah ilusi yang paling indah, dan ilusi adalah candu yang paling mematikan. Mereka bahkan punya ahli strategi khusus yang bertugas merancang janji-janji, memastikan setiap janji memiliki daya pikat yang maksimal dan efek samping yang minimal.

Beberapa penonton yang lebih cermat mulai merasakan efek racun janji ini. Mereka mulai merasa mual, kepala pusing, dan hati mereka terasa perih. Mereka mulai menyadari bahwa janji-janji itu hanya tipuan, dan bahwa mereka telah dijerumuskan ke dalam labirin kebohongan yang tak berujung. Akan tetapi, begitu mereka mencoba berteriak, suara mereka langsung diredam oleh paduan suara bisikan angin yang semakin kencang, membawa janji-janji baru yang lebih memabukkan.

Sungai-sungai di Nusantara mulai keruh, bukan karena lumpur, melainkan karena air mata kekecewaan. Pohon-pohon yang dulu rindang, kini daunnya berguguran satu per satu, tak lagi mampu menaungi dari teriknya janji-janji palsu. Si Jujur hanya bisa menatap pilu. Ia berharap ada hujan kejujuran yang bisa membersihkan semua racun janji ini, sehingga padang rumput kembali hijau, dan harapan tumbuh lagi dari tanah yang kering. (Sesi-3 dari “Dagelan Politik”)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...