MENJUAL HARAPAN - Puncak dari perjalanan Dadun, sebuah klimaks yang telah lama ia nantikan sekaligus ia takuti, membawanya ke meja pengadilan. Di sanalah, di ruang sidang yang sakral, tetapi seringkali ternoda, badai sesungguhnya bergemuruh. Bukan badai alam, melainkan badai kata-kata, argumen, dan manipulasi yang disajikan di bawah nama hukum. Keadilan, yang seharusnya menjadi panglima tertinggi, seringkali menjadi tawanan yang dirantai di tengah arena pertarungan ego dan kepentingan.
Dadun tidak hanya menjadi penonton, ia menjadi saksi kunci. Ia duduk di kursi saksi, jantungnya berdegup kencang, namun tekadnya tak goyah. Di depannya, ia melihat para pengacara saling beradu argumen, menggunakan retorika yang memukau, namun seringkali menyesatkan. Kata-kata menjadi senjata yang ampuh, mampu memutarbalikkan fakta, menutupi kebenaran, dan menciptakan narasi palsu yang meyakinkan. Setiap kalimat adalah siasat, setiap jeda adalah strategi.
Ia menyaksikan bagaimana keadilan dipermainkan, bagaimana bukti-bukti valid direkayasa atau diabaikan, dan bagaimana kesaksian-kesaksian yang jujur dimentahkan dengan mudah. Sumpah di atas kitab suci seolah tak berarti, hanya formalitas belaka di hadapan godaan uang dan kekuasaan. Dadun melihat wajah-wajah yang tanpa ekspresi, seolah tak ada beban moral yang mereka pikul, saat mereka dengan santainya memanipulasi nasib seseorang.
Refleksi dalam ruang sidang yang dingin itu membuat Dadun menyadari betapa rapuhnya kebenaran di hadapan kekuatan uang dan pengaruh. Palu hakim, yang seharusnya menjadi simbol keadilan, terkadang terasa seperti alat penindas, mengesahkan ketidakadilan dengan legitimasi hukum. Ada kepahitan mendalam saat Dadun melihat bagaimana mereka yang seharusnya melindungi keadilan justru menjadi bagian dari lorong gelap itu.
Namun, di tengah badai itu, Dadun tidak menyerah. Ia adalah suara yang berdiri sendiri di tengah kebisingan kebohongan. Ketika gilirannya bersaksi, ia berbicara dengan lantang, dengan kejujuran yang tak tergoyahkan. Ia menyuarakan apa yang ia dengar dari Karsa, apa yang ia lihat di balik tirai mewah, dan apa yang ia rasakan dari rintihan rakyat kecil. Setiap kata yang ia ucapkan adalah hasil dari perjalanannya yang panjang, sebuah manifesto kebenaran yang tak bisa lagi dibungkam.
Ia tahu, kesaksiannya mungkin tidak akan mengubah segalanya dalam satu hari. Sistem itu terlalu kuat, terlalu mengakar. Akan tetapi, ia berharap, kesaksiannya akan menjadi percikan api, sebuah kerikil kecil yang menimbulkan riak, mengganggu ketenangan para pelaku kejahatan. Ia harus melakukannya, demi mereka yang tak bisa bersuara, demi martabat keadilan yang telah tercoreng.
Meskipun persidangan itu berakhir dengan putusan yang tidak sepenuhnya memuaskan Dadun, ia tidak merasa kalah. Ia telah berjuang. Ia telah bersuara. Dan itu, baginya, adalah sebuah kemenangan tersendiri. Ia telah membuka mata banyak orang yang hadir di sana, termasuk Kinanti yang diam-diam memberinya dukungan. Badai di atas meja pengadilan mungkin tak memporak-porandakan segalanya, tetapi ia telah meninggalkan bekas, sebuah celah kecil bagi cahaya untuk masuk. (bersampung ke sesi 8)
Komentar