Langsung ke konten utama

Aroma Korupsi di Balik Tirai Mewah (Sesi 4 dari Cerber "Lorong Gelap Keadilan")



MENJUAL HARAPAN -Perjalanan Dadun selanjutnya membawanya ke sebuah dunia yang jauh berbeda dari lorong-lorong sempit dan jeruji besi. Ia memasuki lingkaran elite, ke balik tirai-tirai mewah yang terbuat dari sutra mahal dan disulam dengan benang emas. Gedung-gedung tinggi yang menjulang angkuh, dengan arsitektur modern yang memamerkan kekuasaan dan kemewahan, menjadi saksi bisu dari sisi lain lorong gelap keadilan. Di sana, Dadun menemukan bahwa kegelapan tidak hanya bersembunyi dalam bayang-bayang kemiskinan, tetapi bercokol di balik gemerlap kemakmuran yang mencolok.

Di setiap sudut ruangan berpendingin udara itu, aroma korupsi menyeruak, membaur dengan wewangian mahal dari parfum-parfum impor, aroma kopi premium, dan tawa-tawa hambar yang sarat kepalsuan. Dadun menyaksikan sendiri bagaimana hukum menjadi budak kekuasaan, bagaimana keadilan diperdagangkan di meja-meja bundar yang dilapisi marmer mahal, di antara hidangan-hidangan lezat dan minuman-minuman beralkohol. Setiap keputusan, setiap kesepakatan, seolah dibubuhi tanda tangan tak terlihat berupa uang dan pengaruh.

Wajah-wajah tanpa dosa, bibir-bibir manis yang menyembunyikan duri racun, tangan-tangan yang berjabat erat, namun hati yang saling menikam, semua menjadi bagian dari simfoni ketidakadilan yang merdu di telinga para penguasa.

Mereka berbicara tentang integritas, transparansi, dan pelayanan publik, namun di balik layar, mereka merencanakan penjarahan dan manipulasi. Dadun melihat bagaimana sistem dibuat rumit, sehingga celah korupsi mudah ditemukan, bagaimana regulasi dibuat bias agar hanya menguntungkan segelintir orang.

Ia merasa mual melihat kemunafikan yang terpampang nyata. Ini merupakan puncak gunung es dari apa yang ia dengar di gang-gang sempit dan dari balik jeruji besi. Di sini, kejahatan dilakukan dengan senyum, dengan dalih hukum, dan dengan legitimasi kekuasaan. Renungan Dadun, semakin dalam: lorong gelap keadilan tidak hanya diisi oleh kejahatan jalanan, tetapi juga oleh "kejahatan kerah putih" yang lebih sistematis dan merusak, karena ia menggerogoti kepercayaan publik pada institusi negara.

Para penghuni gedung-gedung megah ini adalah dalang di balik penderitaan banyak orang. Mereka yang memutuskan siapa yang berhak atas keadilan dan siapa yang harus tumbang. Dadun, memahami bahwa kekuasaan tanpa moral adalah racun mematikan, dan korupsi merupakan manifestasi paling busuk dari racun tersebut. Ia tahu, ia harus terus melangkah, menyingkap lapis demi lapis tirai kemewahan ini untuk melihat wajah asli dari ketidakadilan yang sistemik.

Walau batinnya bergejolak, Dadun tetap tenang, mengamati setiap gerak-gerik, setiap percakapan. Ia belajar cara kerja sistem dari dalam, memahami bagaimana benang-benang kekuasaan ditarik dan diatur. Pengetahuan ini sangat berharga, memberinya pemahaman yang lebih komprehensif tentang musuh yang ia hadapi. Ia tidak lagi sekadar mencari kebenaran, tetapi juga mencari cara untuk melawan dan membongkar jaringan yang rumit ini.

Dadun, keluar dari lingkaran itu dengan beban yang lebih berat di pundaknya, tetapi dengan pemahaman yang lebih jernih. Korupsi bukanlah sekadar tindakan individu, melainkan sebuah budaya yang telah mengakar, sebuah penyakit yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara. Dadun tahu, pertempuran ini tidak akan dimenangkan hanya dengan tekad, tetapi juga dengan strategi, dengan keberanian, dan dengan kesabaran yang tak terbatas. (bersambung ke sesi 5)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...