HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

UU Kelautan: Tantangan dan Harapan Penegakan Hukum di Laut Indonesia




MENJUAL HARAPAN - Salah satu perubahan signifikan yang dibawa oleh UU Kelautan adalah transformasi Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), menjadi Badan Keamanan Laut (Bakamla). Bakamla kini memiliki fungsi yang diperluas dan diperkuat, tidak hanya menyinergikan dan memonitor patroli, namun, melakukan patroli keamanan dan keselamatan di perairan Indonesia secara langsung. Penguatan tugas dan fungsi Bakamla ini diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat untuk penegakan hukum di laut yang lebih efektif, meskipun tantangan implementasi, khususnya harmonisasi tugas dengan lembaga lain, masih menjadi pekerjaan rumah.

Hal itu disampaikan anggota DPR/MPR RI Sulaeman L. Hamzah pada kegiatan sosialisasi undang-undang yang berlangsung diselenggarakan di Rumah Aspirasi H. Sulaeman L. Hamzah, Kabupaten Merauke, provinsi Papua Selatan, pada Sabtu (31/5/2025).

Lanjut legislator DPR RI Fraksi Nasdem ini, kendatipun demikian, Bakamla dihadapkan pada tantangan ego sektoral dari berbagai lembaga yang memiliki kewenangan di laut, yang dapat menyebabkan tumpang tindih otoritas dan minimnya kepastian hukum bagi pelaku pelayaran.

"Peran TNI dalam penegakan hukum di laut seharusnya menjadi sistem pelengkap dalam mobilisasi alat kekuatan, dengan Bakamla memfasilitasi peran tersebut, serupa dengan fungsi TNI di bawah BNPB dalam penanggulangan bencana," ungkap Sulaeman, seraya mengatakan kewenangan intelektual dalam pengawasan dan penegakan hukum tetap menjadi fungsi instansi sektoral yang memiliki kapasitas terkait.

Anggota DPR RI daerah pemilihan Papua ini, menyatakan, sayangnya, tugas dan fungsi besar Bakamla, masih belum diimbangi dengan kewenangan yang memadai dari UU Kelautan maupun Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014.

Lanjutnya, kewenangan yang diberikan hanya terbatas pada pengejaran seketika, pemeriksaan dan penangkapan kapal, serta integrasi sistem informasi.

"Hal ini, menyisakan persoalan signifikan terkait fungsi sinergi dan koordinasi antar sektor yang menjadi tujuan utama pembentukan Bakamla," tegasnya.

Oleh karena itu, diperlukan kewenangan yang lebih jelas dan tegas untuk koordinasi, serta desain kelembagaan yang memungkinkan akses langsung ke Presiden untuk koordinasi efektif. "Terdapat potensi benturan tugas dan fungsi antara Bakamla dengan Lembaga Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dimandatkan dalam UU Pelayaran, namun hingga kini belum terbentuk," ungkapnya.

Jelasnya, kedua lembaga tersebut, memiliki kesamaan tugas dalam penegakan hukum di laut, bahkan Sea and Coast Guard juga memiliki fungsi koordinasi serupa. Oleh karena itu, penting bagi Bakamla untuk merumuskan kebijakan yang jelas terkait pelaksanaan tugas yang sama dan rencana aksi pembagian tugas pasca terbentuknya Sea and Coast Guard.

Adapun terkait dengan ketentuan pidana dan administrasi, UU Kelautan merujuk pada sanksi-sanksi yang telah ada dalam UU sektoral. Sanksi administratif diatur untuk pelanggaran pemanfaatan ruang laut, mencakup peringatan tertulis hingga denda administratif. Sementara itu, sanksi pidana dalam UU ini hanya berlaku untuk pemanfaatan ruang laut secara menetap tanpa izin lokasi, dengan ancaman pidana penjara hingga enam tahun dan denda hingga Rp 20 miliar. 

UU Kelautan menaungi beberapa undang-undang sektoral lainnya, seperti UU Perikanan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP2K), UU Pelayaran, UU Konservasi, dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

"Meskipun beberapa UU ini disahkan terlebih dahulu, posisinya adalah lex specialis yang akan tunduk pada UU Kelautan sebagai lex generalis, jika terjadi pertentangan ketentuan," pungkas Sulaeman.

Kegiatan sosialisasi undang-undang ini dihadari dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kepala kampung hingga tokoh adat. (Sjs-267)


Tutup Iklan