Langsung ke konten utama

Renungan Hari Hutan Sedunia: Kerakusan Kapitalisme, Nihil Etika Pembangunan

Ilustrasi kebakaran hutan (foto hasil tangkapan layar dari kompas.com )


MENJUAL HARAPAN - Pada setiap tanggal 22 Juni, dunia memperingati Hari Hutan Sedunia. Ini merupakan sebuah momen untuk berhenti sejenak, dan merenungkan keberadaan serta kondisi salah satu paru-paru terpenting di planet ini. 

Ironisnya, di tengah perayaan ini, kita dihadapkan pada realitas yang getir, yaitu hutan-hutan kita terus terancam, ditebang demi perluasan lahan, dieksploitasi tanpa henti, dan dibiarkan terbakar hingga menyisakan abu. 

Fenomena deforestasi, dan degradasi lahan bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan cermin dari krisis eksistensial manusia itu sendiri. Kita seakan lupa bahwa keberlanjutan hidup kita sangat bergantung pada keseimbangan ekosistem, dimana hutan jaga, dan bukan dieksploitasi habis-habisan demi kepentingan pembangunan.

Manusia, dengan segala klaim kemajuannya, seringkali abai terhadap akar primordialnya. Hutan, dalam narasi filosofis, merupakan simbol kehidupan, kebijaksanaan, dan koneksi tak terputus antara masa lalu, kini, dan nanti. 

Pohon-pohon menjulang tinggi adalah saksi bisu peradaban, menyimpan memori zaman, dan menawarkan pelajaran tentang kesabaran, ketahanan, dan saling ketergantungan. Akan tetapi, nafsu kapitalisme yang menggebu, dan paradigma pembangunan yang sempit, dan tanpa dibarengi etika pembangunan, acapkali membutakan kita dari esensi filosofis ini. Kita melihat hutan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi, bukan sebagai entitas hidup yang memiliki hak untuk lestari.

Kesadaran akan ancaman ini telah melahirkan berbagai gerakan internasional yang masif. Dari konvensi-konvensi PBB tentang keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim, hingga inisiatif-inisiatif akar rumput yang digerakkan oleh komunitas lokal, dan organisasi non-pemerintah, upaya penyelamatan hutan terus bergema. 

Seruan-seruan untuk menghentikan deforestasi, mendorong reboisasi, dan menerapkan praktik pengelolaan hutan yang lestari. Sustainable Development Goals (SDGs) PBB, khususnya tujuan ke-15 tentang kehidupan di darat, secara eksplisit menyerukan perlindungan, restorasi, dan promosi pemanfaatan berkelanjutan ekosistem daratan. Ini merupakan pengakuan global bahwa masa depan kita terikat erat dengan kesehatan hutan.

Di tengah hiruk pikuk gerakan global ini, dalam konteks Indonesia, menjadi sangat relevan. Indonesia sebagai negara megabiodiversitas kedua di dunia, Indonesia adalah penjaga bagi hutan hujan tropis yang kaya dan vital.  Akan tetapi, ironisnya, Indonesia juga sering disebut sebagai salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan praktik pembalakan liar telah meninggalkan luka menganga pada lanskap hutan kita. Kebakaran hutan dan lahan yang menjadi bencana tahunan bukan hanya merenggut flora dan fauna, tetapi juga menyebabkan kabut asap lintas batas yang merugikan kesehatan dan perekonomian regional.

Kendati, di balik gambaran suram ini, ada secercah harapan. Semakin banyak masyarakat adat, dan komunitas lokal yang berjuang mempertahankan hutan ulayat mereka. Pemerintah pun mulai menunjukkan komitmen melalui kebijakan-kebijakannya seperti moratorium izin baru pada hutan primer, dan lahan gambut, serta program perhutanan sosial yang memberdayakan masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari. Penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan juga semakin intensif, meskipun tantangannya masih besar.

Dengan Hari Hutan Sedunia, bukan hanya tentang merayakan hutan, namun juga tentang introspeksi. Ini merupakan panggilan untuk meninjau kembali hubungan kita dengan alam, untuk memahami bahwa kita adalah bagian tak terpisahkan dari jaring kehidupan yang kompleks ini, bukan penguasa yang berhak merusak sesukanya. Kita perlu bergerak melampaui retorika, dan mewujudkannya dalam tindakan nyata, yaitu mendukung produk-produk yang lestari, berpartisipasi dalam upaya reboisasi, dan mendesak para pengambil keputusan untuk memprioritaskan kelestarian lingkungan di atas segalanya. (Silahudin)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...