Langsung ke konten utama

Pintu Gerbang - Sesi 3: Piagam di Tengah Padang Retak

 




“Di atas tanah kering, pernah ditulis janji suci:
bahwa kekuasaan ada untuk menegakkan, bukan menindas.
Tapi hari ini, janji itu telah dikavling oleh mereka yang menyebut rakyat hanya saat pemilu.”

MENJUAL HARAPAN - Satu sore, langit kota berubah jingga kemerahan. Bukan karena senja yang indah, akan tetapi karena polusi dan api dari protes kecil di sudut alun-alun. Tiga tokoh muda kita, kini tergabung dalam sebuah forum yang mereka beri nama Madani Now. Forum itu lahir dari ketidakpuasan terhadap “perjanjian sosial” yang tak pernah ditulis rakyat, tapi ditandatangani para elite di ruang marmer dan suara mikrofon berlabel sponsor.

“Piagam Madinah adalah proyek politik tertinggi,” ucap sang pemuda fanzine dalam diskusi terbuka yang disiarkan via kanal daring. “Ia bukan sekadar toleransi antaragama, tapi kontrak kolektif yang menundukkan kekuasaan pada prinsip, bukan selera pasar.”

Diskusi itu menyenggol banyak hal: undang-undang yang disusun untuk korporasi, kabinet yang gemuk tapi lapar, para pemimpin yang lebih rajin mendengar lobi dibanding jerit petani. Mereka menyebutnya—dengan nada halus tapi mengiris—kelas wali-abdi, yakni pemimpin yang mengaku abdi rakyat tapi hidup dalam benteng tak tersentuh.

Sang mahasiswi hukum menyodorkan gagasan: “Bagaimana kalau kita susun Piagam Madinah Baru—tapi bukan untuk negara, melainkan untuk komunitas yang ingin hidup bermartabat. Tak perlu rumit, cukup lima prinsip: kebenaran, keberanian, keadilan, ketiadaan eksploitasi, dan kemerdekaan berpikir.”

Tak semua yang hadir menyetujui. Ada yang mencibir, menyebut gerakan mereka terlalu utopis. Tapi seperti cahaya kecil di gua gelap, diskusi itu menyalakan sesuatu: bahwa politik bukan soal kursi, tapi soal etika; dan bahwa keberadaban hanya bisa dibangun jika rakyat menulis kembali janji sosialnya—bukan menunggu belas kasihan parlemen.

Dan di luar ruangan itu, para elite yang merasa terganggu mulai memperhatikan. Karena walau kecil, suara yang jujur selalu mengganggu mereka yang hidup dari kebohongan.***

Cerita bersambung (cerber) "Pintu Gerbang"

Sesi 1: Malam yang Menggugah Kalender

Sesi 2: Di Antara Jalan Sunyi dan Padang Kekuasaan

Sesi 3: Piagam di Tengah Padang Retak

Sesi 4: Hijrah yang Belum Usai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...