Pintu Gerbang - Sesi 3: Piagam di Tengah Padang Retak
MENJUAL HARAPAN - Satu sore, langit kota berubah jingga kemerahan. Bukan karena senja yang indah, akan tetapi karena polusi dan api dari protes kecil di sudut alun-alun. Tiga tokoh muda kita, kini tergabung dalam sebuah forum yang mereka beri nama Madani Now. Forum itu lahir dari ketidakpuasan terhadap “perjanjian sosial” yang tak pernah ditulis rakyat, tapi ditandatangani para elite di ruang marmer dan suara mikrofon berlabel sponsor.
“Piagam Madinah adalah proyek politik tertinggi,” ucap sang pemuda fanzine dalam diskusi terbuka yang disiarkan via kanal daring. “Ia bukan sekadar toleransi antaragama, tapi kontrak kolektif yang menundukkan kekuasaan pada prinsip, bukan selera pasar.”
Diskusi itu menyenggol banyak hal: undang-undang yang disusun untuk korporasi, kabinet yang gemuk tapi lapar, para pemimpin yang lebih rajin mendengar lobi dibanding jerit petani. Mereka menyebutnya—dengan nada halus tapi mengiris—kelas wali-abdi, yakni pemimpin yang mengaku abdi rakyat tapi hidup dalam benteng tak tersentuh.
Sang mahasiswi hukum menyodorkan gagasan: “Bagaimana kalau kita susun Piagam Madinah Baru—tapi bukan untuk negara, melainkan untuk komunitas yang ingin hidup bermartabat. Tak perlu rumit, cukup lima prinsip: kebenaran, keberanian, keadilan, ketiadaan eksploitasi, dan kemerdekaan berpikir.”
Tak semua yang hadir menyetujui. Ada yang mencibir, menyebut gerakan mereka terlalu utopis. Tapi seperti cahaya kecil di gua gelap, diskusi itu menyalakan sesuatu: bahwa politik bukan soal kursi, tapi soal etika; dan bahwa keberadaban hanya bisa dibangun jika rakyat menulis kembali janji sosialnya—bukan menunggu belas kasihan parlemen.
Dan di luar ruangan itu, para elite yang merasa terganggu mulai memperhatikan. Karena walau kecil, suara yang jujur selalu mengganggu mereka yang hidup dari kebohongan.***