Langsung ke konten utama

Penderitaan Kemanusiaan dalam Konflik Iran vs Israel dan AS




MENJUAL HARAPAN - LANGIT TIMUR TENGAH, pada 13 Juni 2025, berubah menjadi kanvas kelam, yang dihiasi lukisan ledakan dan kepulan asap. Operasi Rising Lion Israel menghantam daratan Iran dengan serangan udara yang kejam, yang menghancurkan fasilitas nuklir dan markas militer, dan Iran membalas dengan Operasi True Promise III yang mengguncang Tel Aviv, Yerusalem, dan Haifa. Tidak berhenti di situ, Amerika Serikat pun dengan arogansi kekuatannya, memperburuk luka dengan mengebom fasilitas nuklir Fordo di Iran. 

Di tengah permainan geopolitik yang dingin, ada tangisan anak-anak, jeritan ibu-ibu, dan keheningan ayah-ayah yang kehilangan harapan. Konflik ini bukan sekadar pertarungan negara, akan tetapi tragedi kemanusiaan yang merobek jiwa-jiwa tak berdosa. 

Di Teheran, langit yang dulu penuh bintang kini dipenuhi asap dan debu. Serangan Israel ke lebih dari 200 target, termasuk Natanz dan Isfahan, merenggut 224 nyawa, 90% di antaranya warga sipil, termasuk 20 anak yang tak sempat melihat esok hari. Fatemeh, seorang ibu di Natanz, berlutut di reruntuhan rumahnya, menangisi dua anaknya yang terkubur di bawah puing. “Mereka hanya ingin bermain, bukan berperang,” katanya kepada Al Jazeera, suaranya pecah oleh isak. Rumah-rumah yang dulu hangat kini tinggal puing, dan keluarga-keluarga tercerai-berai, meninggalkan luka yang tak akan pernah sembuh. Warga sipil Iran, yang hanya bermimpi hidup tenang, kini dipaksa menanggung beban konflik yang bukan mereka ciptakan.

Di Israel, kengerian tak kalah pedih. Rudal-rudal Iran menghujani Tel Aviv dan Yerusalem, menewaskan 24 orang dan melukai 592 lainnya hingga 17 Juni 2025. Miriam, seorang warga Tel Aviv, menggenggam tangan anaknya di tempat perlindungan bawah tanah, matanya dipenuhi ketakutan. “Setiap sirene terasa seperti akhir dunia,” ujarnya kepada BBC News, suaranya gemetar. Kota-kota yang dulu ramai kini sunyi, ditinggalkan oleh warga yang lari dari kematian. Anak-anak tak lagi tertawa di taman bermain; mereka belajar mengenal suara sirene sebelum alfabet. Trauma itu menggenggam hati mereka, menanamkan ketakutan yang mungkin tak pernah hilang.

Di Iran, penderitaan tak berhenti pada korban jiwa. Serangan Israel menghancurkan kilang minyak dan depo gas, memutus aliran listrik dan air bersih. Rumah sakit di Teheran dan Isfahan berjuang menyelamatkan nyawa dengan obat-obatan yang menipis, seperti dilaporkan Médecins Sans Frontières. Seorang perawat, Zahra, menangis di sudut ruang gawat darurat, tak kuasa melihat pasien anak-anak yang tak terselamatkan. “Kami kehabisan segalanya, kecuali air mata,” katanya. Di pedesaan, warga mengungsi dengan tangan kosong, berjalan di bawah langit yang tak lagi menjanjikan harapan. Sanksi ekonomi yang sudah mencekik kini diperparah oleh kehancuran infrastruktur, mendorong Iran ke jurang krisis kemanusiaan.

Di Israel, serangan Iran merusak jaringan listrik dan gedung-gedung, memaksa lebih dari 10.000 warga mengungsi, menurut Haaretz. Keluarga-keluarga kehilangan rumah, pekerjaan, dan rasa aman. Anak-anak, yang seharusnya bermimpi tentang masa depan, kini menggambar ledakan di buku mereka. Save the Children melaporkan lonjakan gangguan kecemasan di kalangan anak-anak Israel, dengan beberapa tak bisa berbicara setelah menyaksikan kehancuran. Di tempat perlindungan, warga berdesakan, berbagi ketakutan dan doa, sementara dunia di luar terus berputar dalam kegilaan perang.

Konflik ini juga meracuni wilayah lain. Di Yaman, serangan Israel ke pemimpin Houthi pada 14 Juni 2025 menewaskan puluhan warga sipil, menurut Human Rights Watch. Di Lebanon, roket Hizbullah ke Israel memicu pengungsian massal di perbatasan. Di Gaza, eskalasi antara Hamas dan Israel menambah penderitaan warga Palestina, dengan lebih dari 1.500 orang terluka, menurut UNRWA. Setiap ledakan, setiap rudal, adalah luka baru bagi mereka yang sudah terlalu lama menderita. Anak-anak di Sana’a, Beirut, dan Gaza belajar bahwa langit bukan tempat untuk bermimpi, tetapi sumber kematian.

Pengungsian menjadi lambang keputusasaan. Di Iran, lebih dari 50.000 warga terlantar, menurut UNHCR, berjalan dengan koper tua dan hati yang remuk. Di kota-kota penampungan, mereka berebut makanan dan selimut, sementara anak-anak mereka menggigil di malam yang dingin. Di Israel, pengungsi internal memenuhi fasilitas umum, menciptakan ketegangan sosial. Seorang ayah di Haifa berkata kepada The Guardian, “Saya kehilangan rumah, tapi yang paling sakit adalah melihat anak saya tak lagi tersenyum.” Dunia menyaksikan, tetapi bantuan terhambat oleh politik dan blokade, meninggalkan mereka yang menderita dalam kesepian.

Luka psikologis konflik ini tak kalah dalam. Di Iran, warga hidup dalam ketakutan akan serangan berikutnya, sementara propaganda pemerintah memaksa mereka berpura-pura kuat. “Kami lelah, kami hanya ingin damai,” kata seorang pedagang di Teheran kepada The Guardian. Di Israel, demonstrasi anti-perang di Tel Aviv mencerminkan kemarahan dan keputusasaan masyarakat. Red Cross melaporkan lonjakan permintaan layanan kesehatan mental, dengan banyak warga yang tak bisa tidur, dihantui oleh suara ledakan. Anak-anak di kedua negara kehilangan masa kecil mereka, digantikan oleh trauma yang akan menghantui mereka seumur hidup.

Indonesia, jauh dari medan perang, juga merasakan getaran penderitaan ini. Sebanyak 386 WNI di Iran dan 194 di Israel terjebak, menanti evakuasi di tengah kekacauan, menurut ANTARA News. Seorang pelajar Indonesia di Teheran, Aisyah, mengirim pesan kepada keluarganya, “Saya takut, doakan saya selamat.” Dua WNI terluka dalam serangan di Teheran, menambah kecemasan komunitas diaspora. Pemerintah Indonesia berjuang mengevakuasi mereka, tetapi pembatasan komunikasi dan penerbangan membuat harapan semakin tipis. Penderitaan ini mengingatkan kita bahwa perang tidak mengenal batas geografis.

Komunitas internasional berteriak untuk gencatan senjata, tetapi suara mereka tenggelam oleh gemuruh senjata. PBB dan UNICEF menyerukan koridor kemanusiaan, tetapi Iran menolak bantuan asing, dan Israel membatasi akses ke Gaza, seperti dilaporkan Oxfam. Tanpa jeda dalam kekerasan, jumlah korban sipil akan terus bertambah, meninggalkan lebih banyak keluarga yang hancur. Dunia tampak tak berdaya, terjebak dalam diplomasi yang mandek dan kepentingan politik yang membutakan hati.

Konflik Iran vs. Israel dan AS adalah lukisan kelam kemanusiaan yang dilukis dengan darah dan air mata. Di Teheran, Tel Aviv, Sana’a, dan Gaza, warga sipil menanggung beban perang yang tak mereka pilih. Anak-anak kehilangan tawa, ibu-ibu kehilangan anak, dan ayah-ayah kehilangan harapan. Dunia tidak boleh diam menyaksikan penderitaan ini. Gencatan senjata bukan sekadar kebutuhan politik, tetapi panggilan kemanusiaan untuk mengakhiri tangisan di tengah badai. Jika kita gagal mendengar jeritan mereka, kita juga gagal sebagai manusia. (S-267)

Artikel ini ditulis dari berbagai sumber


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...