Moderasi Beragama Harus Menjadi Praktik Hidup Warga Negara
MENJUAL HARAPAN - Di tengah kekhawatiran meningkatnya polarisasi sosial dan arus ekstremisme di dunia maya maupun nyata, sosialisasi empat konsensus kebangsaan kembali menggema sebagai agenda strategis nasional. Forum ini tak hanya memperkuat pemahaman Pancasila, melainkan juga menekankan urgensi moderasi beragama sebagai jalan tengah merawat keberagaman dan menolak radikalisme.
“Moderasi adalah ekspresi spiritual yang matang, bukan sekadar toleransi, akan tetapi perjumpaan aktif dengan perbedaan,” ujar anggota DPR RI H. Sulaeman L. Hamzah, pada kegiatan bertajuk “Sosialisasi Empat Konsensus Kebangsaan” yang berlagsung di Aula Hotel Megara, Jl. Raya Mandala, Merauke, Papua Selatan, Minggu (29/6/2025).
Legislator Fraksi Partai Nasdem itu menekankan bahwa Pancasila bukan sekadar dokumen historis, melainkan dasar hidup bersama. Sila demi sila merepresentasikan kerangka normatif untuk membangun masyarakat yang adil, plural, dan seimbang dalam iman serta kehidupan sosial.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan fondasi spiritual bagi moderasi beragama. Sementara sila kedua hingga kelima memperluas cakupan nilai tersebut dalam konteks keadilan sosial, musyawarah, dan persatuan bangsa. “Pancasila bukan ideologi kaku, tetapi living values yang terus relevan dalam dinamika keindonesiaan,” ungkap Sulaeman.
Penurunan kualitas moderasi beragama menjadi salah satu faktor yang memicu tumbuhnya gerakan radikal. Menurut anggota DPR RI Dapil Papua, intoleransi tersbeut bukan muncul tiba-tiba, ia tumbuh di ruang kosong kebudayaan yang tidak diberi asupan nilai kebangsaan.
Peserta forum mendiskusikan bagaimana Pancasila harus diajarkan secara holistik, kan hanya di ruang kelas, tetapi dalam narasi publik, media sosial, dan ruang-ruang keluarga. Sosialisasi tak cukup dengan seminar; dibutuhkan integrasi dalam kurikulum, budaya birokrasi, dan bahkan algoritma digital.
Kekhawatiran juga disuarakan terhadap dominasi model demokrasi ala Barat yang justru meminggirkan substansi nilai luhur bangsa. “Kita tak bisa hanya menyalin sistem asing tanpa menyesuaikan dengan pengalaman dan kebudayaan lokal kita,” demikian paparan anggota DPR itu.
Sosialisasi ini pun menyoroti pentingnya tafsir ulang terhadap demokrasi Indonesia dalam semangat Pancasila. Demokrasi sejati bukan sekadar suara terbanyak, tetapi juga keputusan yang dilandasi hikmat dan kebijaksanaan sebagai pemenuhan keadilan sosial.
Karenanya, moderasi beragama bukan saja jalan tengah antara ekstremisme dan sekularisme, melainkan bentuk kedewasaan iman dan ekspresi kemanusiaan. “Dalam konteks Indonesia, sikap ini sejalan dengan semangat musyawarah, harmoni, dan kebinekaan,” ungkapnya.
Kegiatan Sosialisasi Empat Konsensus Kebangsaan ini dihadiri para tokoh masyarakat, tokoh adat, dan kepala kampung, serta media local.(*)