Menjual Harapan dalam Kebijakan Publik: Berhasil dan Gagal
MENJUAL HARAPAN - Kebijakan publik merupakan bagian yang tidak bisa diingkari dalam realitas pengelolaan kehidupan bernegara. Kebijakan publik hadir acapkali dikemas sebagai janji perubahan, solusi atas persoalan sosial. Akan tetapi, ada kalanya kebijakan tersebut lebih merupakan upaya menjual harapan daripada penyelesaian masalah yang konkret.
Sebagai catatan sejarah politik dan pemerintahan di belahan dunia, telah menunjukkan berbagai contoh di mana harapan yang dijual berhasil menggerakkan masyarakat menuju perubahan nyata, numum, ada pula kebijakan yang justru berujung pada kekecewaan dan krisis.
Tulisan ini, akan mengeksplorasi bagaimana harapan dijual dalam kebijakan publik, dengan beberapa contoh kebijakan baik yang relatif berhasil, maupun yang mengalami kegagalan, termasuk kontroversi yang menyertainya.
Kebijakan yang Berhasil, Harapan yang Menjadi Kenyataan
1. Program Marshall (Marshall Plan) – Amerika Serikat & Eropa
Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat meluncurkan Marshall Plan (1948) dengan janji pemulihan ekonomi bagi negara-negara Eropa yang hancur akibat perang. Program ini menjual harapan akan stabilitas ekonomi dan rekonstruksi sosial.
Kebijakan Marshall Plan ini, dianggap relatif berhasil, dan keberhasilannya, yaitu a)AS menggelontorkan lebih dari $13 miliar untuk pembangunan kembali Eropa; b) Negara-negara penerima bantuan mengalami pertumbuhan ekonomi pesat: Jerman, Prancis, dan Inggris menjadi kekuatan ekonomi utama pasca-perang; dan c) membantu menstabilkan politik dan menghindari penyebaran komunisme di Eropa Barat.
Pelajaran yang dapat disimak dari sini, adalah menjual harapan dalam kebijakan publik bisa efektif, bilamana didukung dengan tindakan konkret, realistis dan terukur.
2. Kebijakan Pendidikan Finlandia – Reformasi Sistem Pendidikan
Memang, Finlandia cukup populer dalam keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Awal mula, Finlandia mengubah sistem pendidikannya sejak 1970-an dengan menjanjikan pendekatan pendidikan yang lebih merata dan berkualitas. Alih-alih berfokus pada tes standar, negara ini mengedepankan kualitas guru dan kurikulum berbasis kreativitas.
Reformasi sistem pendidkan negara Finlandia ini berhasil. Keberhasilannya, yaitu:
Finlandia consistently ranks among the best educational systems globally.
Kurikulum fleksibel dan berbasis kebutuhan siswa menghasilkan lulusan yang lebih inovatif dan siap menghadapi tantangan dunia kerja.
Model pendidikan ini diadopsi oleh berbagai negara sebagai inspirasi reformasi pendidikan.
Pelajaran yang dapat diambil dari sini, adalah harapan dalam kebijakan publik harus memiliki pendekatan strategis dan berbasis data untuk memastikan efektivitas jangka panjang.
Kebijakan, yang Harapannya Tidak Terwujud atau Gagal
1. Program "War on Drugs" – Amerika Serikat
Tahun 1971 an, Presiden Nixon memperkenalkan kebijakan “War on Drugs”. Kebijakan ini menjual harapan akan masyarakat bebas narkoba dengan pendekatan hukum yang keras.
Namun, kebijakan ini alami kegagalan, yaitu a) produksi dan konsumsi narkoba tetap tinggi, kendati miliaran dolar telah dikeluarkan untuk penegakan hukum. b) Kebijakan ini menyebabkan lonjakan jumlah tahanan, khususnya dari komunitas minoritas; dan c) banyak negara mulai mengubah strategi dengan pendekatan rehabilitasi dibandingkan kriminalisasi.
Pelajaran yang dapat diambil dari kebijakan ini, harapan yang dijual tanpa pendekatan berbasis ilmu sosial dan ekonomi berisiko menjadi kebijakan yang kontra-produktif.
2. Kebijakan "Great Leap Forward" – China
Mao Zedong pada akhir 1950-an, menjanjikan percepatan industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi besar-besaran melalui kebijakan Great Leap Forward.
Namun, kebijakan ini alami kegagalan. Kegagalannya, yaitu: a) strategi produksi massal, tanpa perencanaan matang menyebabkan kemiskinan dan kelaparan besar. b) diperkirakan 15–45 juta orang meninggal akibat kelaparan selama kebijakan ini berlangsung; dan c) China akhirnya mengubah model pembangunan dengan pendekatan yang lebih pragmatis pada 1980-an.
Pelajaran dari kebijakan ini, menjual harapan tanpa perhitungan realistis, dapat berujung pada bencana sosial dan ekonomi.
Kebijakan Publik yang Kontroversial: Harapan dalam Perdebatan
1. Universal Basic Income (UBI) – Janji Pendapatan Dasar
Pada gagasan Universal Basic Income (UBI), yaitu pemberian pendapatan dasar kepada seluruh warga tanpa syarat, telah diuji coba di berbagai negara dengan janji kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan, dan melahirkan pro-kontra.
Pihak yang pro memiliki alasan yaitu:a)dapat mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan daya beli masyarakat miskin; dan b) memberikan kebebasan bagi individu untuk mengejar pendidikan atau pekerjaan tanpa tekanan ekonomi ekstrem.
Adapun yang kontra juga beralasan, yaitu: a) biaya implementasi tinggi, memunculkan pertanyaan tentang keberlanjutan fiskal; dan b) beberapa studi menunjukkan bahwa tanpa strategi tambahan, UBI tidak cukup mengatasi ketimpangan struktural.
Pada hal ini, harapan dalam kebijakan publik mesti diuji secara eksperimen dengan analisis dampak jangka panjang.
2. Brexit – Harapan Akan Kemandirian Inggris
Tahun 2016 an, isu global di daaratan Eropa, yaitu Referendum Brexit (2016) yang menjanjikan kembalinya kedaulatan Inggris dari Uni Eropa, dengan harapan peningkatan ekonomi dan kebijakan yang lebih mandiri.
Hal itu, terjadi pro dan kontra. Yang pro memiliki anggapan bahwa a) Inggris bisa mengontrol kebijakan imigrasi dan perdagangan lebih fleksibel; dan b) sebagian industri mendapat manfaat dari kebijakan mandiri.
Adapun yang kontra, memiliki alasan yaitu a) ketidakstabilan ekonomi dan ketidakpastian perdagangan menyebabkan perlambatan ekonomi pasca-Brexit; dan b) banyak perusahaan dan pekerja kehilangan akses ke pasar Eropa yang lebih besar.
Lalu, apa pelajaran yang bisa dipetik dari kebijakan ini? Pelajaran yang dapat dipetik, yaitu menjual harapan dalam kebijakan publik, harus disertai analisis mendalam agar tidak berujung pada ketidakpastian sosial dan ekonomi.
Catata penutup
Kebijakan publik dibuat, tentu memiliki harapan dalam pemecahan persoalan sosial dalam setiap negara, begitu juga kawasan. Dengan perkataan lain, menjual harapan dalam kebijakan publik merupakan bagian tak terpisahkan dari pemerintahan dan kepemimpinan.
Harapan, bisa menjadi kekuatan positif yang mendorong perubahan sosial, namun bisa pula menjadi alat manipulasi, jika tidak didukung dengan kebijakan yang nyata dan realistis.
Oleh karena itu, bagaimana memastikan harapan dalam kebijakan, agar tidak hanya menjadi retorika? Pertama, transparansi dan berbasis bukti/data. Harapan yang dijual harus didukung data dan analisis. Kedua, responsif terhadap konteks sosial. Kebijakan harus mempertimbangkan variabel sosial, budaya, dan ekonomi. Selain itu, ketiga, evaluasi berkelanjutan. Kebijakan harus bisa diukur dampaknya, bukan hanya menjadi janji politik.
Catatan sejarah menggambarkan dan menunjukkan, bahwa menjual harapan bisa menciptakan perubahan besar, akan tetapi tanpa landasan yang kuat, kebijakan itu bisa menjadi ilusi yang merugikan masyarakat.
Dengan demikian, pemimpin dan akademisi harus mampu membedakan harapan sebagai inspirasi, dan harapan sebagai alat eksploitasi. (S-267)