Langsung ke konten utama

Empat Pulau Disengketakan, Aceh-Sumut Memanas

Sengketa Pulau antara Aceh dan Sumatera Utara (Foto hasil tangkapan layar dari kompas.id
)



Pemerintah Pusat Diminta Bertindak, Masyarakat Aceh Tersinggung, Pemerintah Sumut Tegaskan Tak Klaim Sepihak


MENJUAL HARAPAN, 14 Juni 2025 — Polemik kepemilikan empat pulau di perbatasan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali memanas setelah terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Panjang, dan Lipan sebagai bagian dari wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Pemerintah Aceh menolak keputusan tersebut dan menilai penetapan dilakukan sepihak tanpa mempertimbangkan sejarah dan dokumen administratif yang dimiliki pihak Aceh. Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, menyebut keempat pulau tersebut sejak lama dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil dan termasuk dalam kesepakatan bersama tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan Menteri Dalam Negeri saat itu. (Lihat: kompas.id, 13/6/2025).

Keputusan tersebut memicu reaksi beragam dari masyarakat Aceh. Sejumlah aktivis, akademisi, dan tokoh masyarakat menyuarakan kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Warung-warung kopi di Banda Aceh bahkan dipenuhi diskusi hangat terkait isu ini, menggantikan euforia pertandingan sepak bola Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia. (Lihat: kompas.id, 14/6/2025).

Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menegaskan bahwa keputusan itu merupakan kewenangan pemerintah pusat dan menyatakan pihaknya hanya menjalankan keputusan yang ada. “Kalau mau dibahas ulang, ayo sama-sama ke Jakarta. Tapi kami tidak dalam posisi mencuri,” ujarnya dalam konferensi pers di Medan. (Lihat; tempo.co , 13/6/2025).

Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal ZA, menyebut keputusan tersebut berdasarkan hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi sejak 2008, yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga. Ia menyatakan bahwa keputusan tersebut bersifat administratif dan konstitusional. (Lihat: kompas.id , 11/6/2025).

Namun, akademisi menilai pendekatan formal hukum semata tidak cukup. Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Ahmad Humam Hamid, menyebut bahwa keempat pulau tersebut merupakan simbol historis dan identitas Aceh. “Tanpa pendekatan empati, keputusan ini bisa memicu narasi resistensi sosial dan memperburuk relasi pusat-daerah,” katanya. (Lihat: kompas.id , 13/6/2025).

DPR RI pun turut angkat bicara. Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda menyatakan bahwa pihaknya telah meminta Mendagri memanggil kembali Tim Nasional Rupabumi guna meninjau ulang objektivitas hasil kajian teknis di masa lalu. (Lihat: mediaindonesia.com , 13/6/2025).

Saat ini, Pemerintah Aceh tengah mengkaji langkah hukum lanjutan, termasuk kemungkinan membawa sengketa ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kemendagri menyatakan terbuka terhadap bukti baru dari Aceh dan siap memfasilitasi pertemuan lanjutan kedua gubernur di Jakarta (Lihat: flores.pikiran-rakyat.com , 12/6/2025).

Keempat pulau tersebut diketahui belum memiliki penduduk tetap, namun dinilai strategis dari sisi geopolitik, kelautan, dan potensi pariwisata. Meski tampak kecil di peta, keempat pulau ini kini menjadi simbol ujian keadilan dan integritas negara dalam merawat kebinekaan wilayah. (S-267)


“Tanpa pendekatan empati, keputusan ini bisa memicu narasi resistensi sosial dan memperburuk relasi pusat-daerah.”

– Ahmad Humam Hamid, Guru Besar USK


Referensi:

Kompas.id. (2025, 13 Juni). Kisruh Empat Pulau di Batas Aceh-Sumut.

Kompas.id. (2025, 14 Juni). Polemik Empat Pulau yang Menyakiti Masyarakat Aceh.

Kompas.id. (2025, 11 Juni). Penjelasan Kemendagri soal Kisruh Empat Pulau.

Tempo.co. (2025, 13 Juni). Soal Kepemilikan 4 Pulau, Bobby Nasution Ajak Aceh Bicarakan Lagi di Jakarta.

Media Indonesia. (2025, 13 Juni). DPR Sebut Status Empat Pulau Eks Aceh Penting.

Flores.Pikiran-Rakyat.com. (2025, 12 Juni). Kemendagri Siapkan Strategi Diplomatik Selesaikan Polemik Empat Pulau Aceh-Sumut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...