Menyoal Nasib RUU Perampasan Aset
Ilustrasi pentingnya UU Perampasan Aset (Foto hasil tangkapan layar dari https://antikorupsi.org) |
MENJUAL HARAPAN - Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, entah dimana sekarang ini posisinya? Nyaris tidak terdengar lagi geliatnya di ranah wakil rakyat akhir-akhir ini.
RUU Perampasan Aset ini memiliki tujuan yang mulai, yaitu memungkinkan negara merampas aset hasil tindak pidana, utamanya tindak pidana korupsi. Hal ini, dianggap sebagai instrumen efektif untuk memiskinkan koruptor, dan mengembalikan kerugian negara.
Kerugian negara menurut Indonesia Corruption Wathc (ICW) mencapai Rp 290 triliun selama 2024-2023.
Efektivitas pencegahan tindak pidana korupsi, merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dalam pergulatan kehidupan negara bangsa (nations state), agar kekayaan negara benar-benar disandarkan bagi kepentingan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya, dimanfaatkan oleh segelintir orang dengan melakukan perilaku lancung.
Perjalanan RUU ini, pertama kali diusulkan pada tahun 2008, dan telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) beberapa kali (2008, 2014-2019, dan 2023), akan tetapi, hingga kini (tahun 2025), masih belum juga menjadi undang-undang (dibahas dan disahkan), entah apa yang menjadi berbagai lintang pukangnya?
RUU Perampasan Aset yang sudah sejak lama itu, perlu “dihidupkan” kembali dalam berkomitmen bernegara yang demokratis substantif. Dalam arti, RUU Perampasan Aset mesti ditempatkan pada upaya pencegahan tindak pidana korupsi, bukan sekadar penindakan.
Komitmen pemerintah (an) Presiden Prabowo dalam konteks ini tengah diuji kesungguhannya dalam bingkai pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, kesungguhan menghidupkan kembali RUU Perampasan Aset (yang statusnya di Prolegnas 2025 hasil rapat DPR RI, 18 November 2024 tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025), untuk menjadi undang-undang, mesti menjadi momen vital meningkatkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi, dan kejahatan ekonomi, seperti penghindaran pajak, dan lain-lain.
Selain itu juga, untuk mengembalikan dan sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dengan mengembalikan aset negara, dan memudahkan penelusuran aset di luar negeri, serta mengatasi hambatan prinsip timbal balik antarnegara.
Memang, dalam pada itu juga potensi penyalahgunaan patut diimbangi dengan pengawasan yang ketat, oleh karena dalam mekanisme perampasan aset ini (dimungkinkan) tanpa putusan pidana.
Tampaknya, resistensi politik dari berbagai kalangan bisa jadi yang memungknkan hambatan-hambatan RUU Perampasan Aset ini, belum juga menjadi agenda penting prolegnas, apalagi untuk dibahas.
Padahal, RUU Perampasan Aset ini merupakan langkah progresif, namun kegagalan masuk Prolegnas 2025, menunjukkan lemahnya komitmen politik. Dan resistensinya bisa datang dari berbagai lapisan, baik itu dari elit politik itu, birokrasi, atau lapisan lainnya yang berpotensi tersentuh RUU Perampasan Aset, sehingga menjadi hambatan utama.(S-267)