Koperasi Merah Putih: Sebuah Asa, Sejuta Tantangan
MENJUAL HARAPAN - Di tengah hiruk-pikuk janji pembangunan, dan ambisi pertumbuhan ekonomi delapan persen, muncul satu nama kini santer diperbincangkan, yaitu Koperasi Merah Putih.
Koperasi Merah Putih ini, bukan sekadar program biasa, ia adalah sebuah mega proyek, sebuah harapan besar untuk membangkitkan ekonomi dari akarnya, yaitu dari desa-desa pelosok hingga pelosok negeri.
Ide dasarnya memang cemerlang, yaitu memberdayakan masyarakat desa, mendorong kemandirian, dan menggaransi ketahanan pangan. Akan tetapi, seperti layaknya proyek raksasa, ada bayangan-bayangan kritik yang mengiringi, menuntut kita untuk melihatnya dengan mata kepala yang jernih, bukan sekadar terbuai janji manis.
Mimpi Besar
Pemerintah, menargetkan pembentukan 80.000 koperasi di seluruh desa, dan kelurahan. Angka ini sungguh fantastis! Bayangkan, jika setiap koperasi benar-benar hidup, bergerak, dan menyejahterakan anggotanya, betapa dahsyatnya efek domino yang akan terjadi pada ekonomi nasional.
Di balik itu, tentu kita tidak lagi berbicara tentang angka makro semata, namun tentang senyum para petani yang tak lagi tercekik rentenir, tentang ibu-ibu yang punya modal untuk usaha rumahan, atau tentang pemuda desa yang tak perlu lagi merantau jauh mencari pekerjaan.
Koperasi Merah Putih merupakan upaya untuk memangkas rantai panjang distribusi yang sering kali merugikan produsen kecil, dan menyediakan akses modal, dan pasar yang lebih adil.
Ini adalah langkah konkret untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan, memastikan kue pembangunan tidak hanya dinikmati segelintir orang. Koperasi Merah Putih, diharapkan menjadi motor penggerak yang membawa kita lebih dekat pada target pertumbuhan ekonomi ambisius yang dijanjikan.
Sisi Kritis yang Tak Boleh Diabaikan
Akan tetapi, di balik impian besar itu, secara sadar tersembunyi segudang tantangan yang tidak bisa diabaikan dan dianggap enteng. Keberhasilan Koperasi Merah Putih tidak akan semulus jalan tol yang baru dibangun.
Oleh karena itu, pertama, soal keberlanjutan atau kesinambungan. Sejarah koperasi di Indonesia ibarat “roller coaster”, ada naik turunnya. Bahkan, banyak koperasi yang berdiri megah di awal, namun layu sebelum berkembang, salah satunya karena minimnya kemandirian. Pertanyaan kritisnya, akankah Koperasi Merah Putih, hanya menjadi "proyek musiman" yang hidup saat ada anggaran dari pemerintah, lalu mati suri ketika dukungan ditarik?
Keberadaan koperasi yang ideal harus mampu berdiri di atas kakinya sendiri, dikelola secara profesional, dan memiliki daya saing. Jika tidak, hanya akan menambah daftar panjang koperasi "siluman" atau "koperasi papan nama."
Kedua, kapasitas sumber daya manusia. Mendirikan atau membentuk 80.000 koperasi itu merupakan satu hal, namun mencari dan melatih ribuan pengelola koperasi yang mumpuni (bukan sekedar tulis tonggong) itu juga soal lain. Pertanyaannya, apakah desa-desa sudah siap dengan sumber daya manusia, seperti manajemen pemasaran (khususnya pemasaran digital dewasa ini), dan tata kelola yang baik, serta lain-lainnya?
Dengan sebanyak target pembentukan koperasi itu, tentu perlu dibarengi juga dengan pelatihan-pelatihannya. Tanpa pelatihan, berkelanjutan, dan berkualitas, bisa jadi akan banyak koperasi bisa terjebak dalam pengelolaannya yang tidak diharapkan, bahkan rawan penyimpangan. Oleh karena, hal ini bukan hanya soal niat baik, namun soal kompetens juga perlu diperhatikan.
Ketiga, politisasi. Program yang sebesar itu, dan juga dengan anggaran yang tidak sedikit tentunya, acapkali rentan terhadap intervensi politik.
Hal yang logis, kalau memang ada yang mengkhawatirkan, bahwa koperasi ini dapat menjadi alat untuk mendulang suara, atau melanggengkan kekuasaan. Dalam bahasa lain, bukan murni untuk pemberdayaan ekonomi.
Dengan begitu, prinsip-prinsip koperasi yang demokratis dan mandiri, dapat terciderai bila ada campur tangan politik yang berlebihan. Hal ini harus diwaspadai dan dihindari.
Obsesi mencapai target 80.000 koperasi, mesti tidak terjebak pada orientasi kuantitas semata. Oleh karena itu, lebih baik memiliki seratus koperasi yang sehat, kuat, dan berdampak nyata, daripada seribu koperasi yang hanya hidup di atas kertas.
Selain itu juga, pengawasan yang ketat, dan evaluasi berkala harus dilakukan untuk memastikan setiap koperasi benar-benar fungsional dan memberikan manfaat, bukan sekadar jadi stempel atau formalitas belaka.
Menuju Koperasi yang Berdaya
Koperasi Merah Putih merupakan sebuah harapan, yang bisa menjadi kunci untuk mewujudkan mimpi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, bilamana manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi, harapan tersebut perlu ditopang dengan strategi yang matang, implementasi yang cermat, dan komitmen yang tak tergoyahkan.
Pemerintah, perlu memastikan program ini tidak hanya fokus pada pencairan anggaran, dan pendirian fisik, namun juga pada pembangunan kapasitas SDM, penguatan tata kelola, penyediaan akses pasar yang berkelanjutan, dan proteksi dari politisasi.
Catatan Penutup
Keberadaan Koperasi Merah Putih, tentu bukan sekadar proyek, melainkan gerakan ekonomi rakyat yang harus tumbuh dari bawah, dengan kesadaran dan partisipasi aktif dari anggotanya.
Dengan demikian, bilamana Koperasi Merah Putih berhasil melewati segala badai dan tantangannya, dapat dipastikan akan menjadi salah satu warisan terpenting bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Koperasi, bukan hanya tentang angka pertumbuhan, namun tentang martabat dan kesejahteraan jutaan rakyat Indonesia di pelosok negeri. (Silahudin)