Pesan Peribahasa Sunda "Nyaliksik Ka Buuk Leutik" Dalam Kehidupan
Ilustrasi keadaan kehidupan (Foto hasil tangkapan layar dari fb tatar pasundan) |
MENJUAL HARAPAN – Dunia ini penuh dinamika dan gimik. Persoalan saling beradu kekuatan dalam praktek-peraktek kehidupan sosial, budaya, bahkan level pemerintahan tampak menjadi kavling tersendiri.
Kemiskinan struktural tampak
menghiasi ranah lapang negeri ini, yang kuat memanfaatkan yang lemah dalam
aspek dan dimensi apa pun.
Eksploitasi menggambarkan
ranah kehidupan “Nyalisik ka buuk leutik” kata peribahasa Sunda.
Maksudnya, Tindakan merendahkan, menindas dan mengeksploitsi orang yang lemah,
baik secara fisik, sosial budaya, maupun ekonomi.
Peribahasa Sunda “Nyalisik
ka buuk leutik” dapat terjadi dalam ragam bentuk, seperti penyalahgnaan
kekuasaan, bullying atau perundungan, diskriminasi, dan lain sejenisnya.
Secara harfiah makna
peribahasa Sunda “Nyalisik ka buuk leutik” memanfaatkan orang yang lebh
lemah, atau posisi lebih rendah demi kepentingan pribadi.
“Nyarisik ka buuk leutik”, Imam
Budhi Santosa (2016) memberi arti menyelisik kutu ke celah rambut kecil. Sindiran
terhadap pemimpin (penguasa) yang mengambil keuntungan dari rakyat kecil demi
kepentingannya sendiri.
Pada titik simpul ini, lalu
bagaimana pada konteks sosial budaya?
Relevansinya dalam kehidupan modern? Dan apa pesan moral dari peribahasa
“Nyalisik ka buuk leutik”?
Setiap masyarakat di wilayah
nusantara ini memliki peradaban kebudayaan seperti misalnya untuk masyarakat
Maluku memiliki konsep “pela gandong” (persaudaraan antar kampung).
Konsep peribahasa Sunda “nyalisik
ka buuk leutik” menggmabarkan persoalan sosial adanya “hirarkhi sosial”
dimana peribahasa ini menggambarkan atau menyoroti adanya kecendeurngan
individu seseorang memanfaatkan hierarki untuk kepentingan atau keuntungan
pribadi.
Selain itu pula, peribahasa
ini merupakan kritik terhadap tindakan yang tidak adil dan tidak manusiawi
seperti menindas orang yang lemah atau lebih lemah.
Makan peribahasa ini pula, menjadi
peringatan atau pengingat betapa penting soal etika dan moral dalam
berinteraksi dengan sesama.
Memang, kalua disimak
peribahasa-peribahasa di wilayah Nusantara ini merupakan warisan budaya nenek
moyang kita dengan pesan yang mendalam dalam melakoni berbagai profesi
kehidupan.
Walau peribahasa, termasuk
peribahasa Sunda ini sebagai warisan dari masa lalu, namun relevansinya masih
terasa hingga saat ini.
Seperti contoh di lingkungan
sekolah, siswa yang membuli atau melakukan perundungan terhadap siswa yang
lemah atau lebih lemah. Di lingkungan kerja, atasan atau bos memanfaatkan
karyawan bawahan untuk kepentingan pribadi. Lingkungan masyarakat, orang yang
memanfaatkan orang miskin atau lemah untuk kepentingan ekonomi, dan politik.
Peribahasa “nyaliksik ka
buuk leutik” memiliki pesan moral yang sangat kuat, yaitu di antaranya
sikap untuk memahami dan peduli terhadap orang lain, utamnya yang lemah.
Keadilan mesti ditegakkan tanpa memandang status sosial atau kekuasaan, dan
pesan kritik terhadap penegakan hukum dengan ungkapan “hukum tumpul ke atas,
tajam ke bawah.”
Peribahasa ini memberi pesan
moral yang kuat terhadap hal itu. Pendek kata, setiap individu manusia memiliki
martabat dan hak yang sama terlepas dar keadaan sosial atau ekonominya.
Itu sebabnya, pentingnya
mencegah perbuatan atau tindakan “Nyaliksik ka buuk leutik” yaitu membangun dan meningkatkan kesadaran
warga masyarakat betapa bahaya dan dampak dari tindakan tersebut; membangun
solidaritas, menggunakan media sosial dengan bijak, tidak menyebarkan hoax atau
ujaran kebencian, menanamkan nilai-nilai kejujuran, sportivitas, keadilan, dan
empati. Penegakan keadilan dan tidak tembang pilih,
Dengan demikian, peribahasa
Sunda “Nyaliksik ka buuk leutik” mengingatkan kita, utamanya (penegak
hukum) tentang bersikap adil, manusiawi, dan saling menghormati martabat setiap
individu manusia.
Oleh karena itu, peribahasa
ini dalam konteks kehidupan modern, memiliki relevansi dan bahkan menjadi
panduan bagi kita dalam pergaulan kehidupan sesama. Semoga!
*) Silahudin